Produktivitas kerja bagi Gen Z HRPods

Produktivitas Kerja Bagi Gen Z: Masa Depan Perusahaan

Apa arti produktivitas kerja bagi Gen Z? Sebagian besar karyawan Gen Z menggambarkan diri mereka cukup produktif. Sebagian besar mereka mengatakan produktif selama lima hingga enam jam. Pola kerja mereka hampir sama dengan generasi sebelumnya. Mengapa mereka tidak merasa produktif selama delapan jam? Apakah durasi jam kerja tersebut sudah tidak relevan dengan dinamika kerja saat ini?

Memahami Dinamika Kerja Gen Z

Gen Z yang lahir kira-kira antara 1997 hingga 2012, mendominasi dunia kerja sejak lima tahun terakhir. Mereka adalah generasi yang tumbuh di tengah krisis ekonomi, pandemi COVID-19, kecanggihan digital, hingga pergeseran cara kerja.

Jadi wajar jika Gen Z memiliki pandangan berbeda terhadap produktivitas kerja, yang sering kali disalahpahami oleh angkatan kerja sebelumnya. Salah satunya pandangan mereka tentang durasi jam kerja, di mana umumnya durasi kerja di Indonesia adalah delapan jam dengan satu jam istirahat. Namun, fenomena tersebut tak hanya ada di negara ini, tetapi terjadi secara global. 

Saat mencari pekerjaan, mereka tak hanya melihat jumlah gaji, juga tunjangan yang berhubungan dengan waktu kerja. Mereka cenderung memilih tunjangan berupa fleksibilitas kerja, sehingga mereka dapat bekerja dari mana saja dan kapan pun, selama mereka mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai tenggat dan tetap berkualitas. 

Generasi yang disebut zoomers ini juga menghargai perusahaan yang tidak mematok bekerja dari 09.00–17.00 atau 18.00 dengan satu jam istirahat. Jika mereka mampu merampungkan tugas kurang dari delapan jam hasilnya sesuai harapan, penetapan jam kerja menjadi kurang relevan saat ini. 

Baca pula: 4 Upaya Perusahaan Dukung Keuangan Karyawan Gen Z

Bagaimana Produktivitas Kerja Bagi Gen Z?

Kickresume yang menyurvei 1,897 karyawan di seluruh dunia pada Juli 2025, secara umum sebesar 18% responden mengaku mampu fokus bekerja selama tujuh hingga delapan jam. Terdapat 39% karyawan melaporkan bekerja sekitar lima hingga enam jam dan 29% hanya mampu bertahan selama tiga hingga empat jam.

Dengan kata lain, terlepas dari usia, kebanyakan karyawan merasa bekerja produktif sekitar lima hingga enam jam. Meskipun mereka memiliki karakteristik dalam bekerja. 

Gen Z

Pandangan Gen Z menilai jam kerja dan produktivitas:

  • 37% karyawan Gen Z menggambarkan diri mereka sebagai cukup produktif , sebagian besar mengatakan mereka produktif selama lima hingga enam jam sehari, pola yang sangat mirip dengan Milenial dan tidak jauh dari Generasi X 
  • Mereka juga cenderung tidak mengklaim produktivitas yang sangat tinggi dibandingkan generasi yang lebih tua, di mana 7% mengatakan bekerja lebih dari delapan jam dan 15% mengatakan bekerja tujuh hingga delapan jam
  • Sebesar 33% Gen Z mengaku hanya memiliki tiga hingga empat jam waktu produktif per hari, alasannya karena mereka menekankan kesehatan mental dan work-life balance agar 
  • Salah satu mungkin Gen Z sangat  keseimbangan kehidupan kerja, maka mereka tidak merasa terlalu tertekan untuk melebih-lebihkan jam produktif 

Milenial

Untuk Milenial, produktivitas mereka sesuai dengan rata-rata keseluruhan: 

  • 39% menyelesaikan pekerjaan sekitar lima hingga enam jam setiap hari
  • Sekitar satu dari lima karyawan bekerja tujuh hingga delapan jam
  • 10% mengatakan mereka bekerja lebih lama dari delapan jam 

Milenial yang mapan dalam karier sering kali berada pada posisi menengah atau manajerial, yang mana produktivitas stabil menjadi hal penting. Selain itu, menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga membantu mereka waktu produktif tetap dalam batas waktu standar.

Gen X

Sementara itu, Gen X memiliki standar untuk tetap produktif:

  • 14% kuat beraktivitas selama lebih dari delapan jam sehari 
  • 19% mencatat waktu kerja selama tujuh hingga delapan jam, yang jauh lebih tinggi dibandingkan generasi yang lebih muda 
  • 44% bekerja pada rentang waktu lima hingga enam jam
  • 20% mengaku hanya memiliki tiga hingga empat jam produktif, ini jumlah terendah dibandingkan kelompok lain

Kondisi itu masuk akal mengingat banyak Gen X memegang peran senior dengan lebih banyak pengalaman dan rutinitas terasah selama karier yang panjang. 

Secara keseluruhan memperlihatkan bahwa fokus sepanjang hari kerja tidaklah realistis bagi kebanyakan orang, berapapun usianya. Produktivitas memiliki batasnya dan bersikap jujur ​​tentang hal itu adalah cara yang lebih sehat bagi semua orang. 

Dari mana penetapan delapan jam kerja?

Setelah revolusi industri, pekerja kasar sering kali bekerja setidaknya 12 jam sehari dan/atau 80 jam seminggu. Seiring perkembangan gerakan buruh pada 1920-an, gagasan delapan jam kerja sehari pun lahir dan diterima oleh perusahaan maupun pekerja. 

Menurut Ashley Janssen, productivity consultant di firma miliknya, jam kerja tersebut dirancang untuk pekerjaan manual (manual work). Kemungkinan besar jam kerja itu tidak selaras dengan pekerjaan pengetahuan (knowledge work) yang membutuhkan problem solving dan kreativitas. 

“Sebuah organisasi tidak pernah benar-benar mencoba hal lain. Itulah normanya dan tidak pernah ada dorongan untuk mengubahnya. Meskipun sebenarnya itu tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja pengetahuan, ujar Janssen kepada HR Brew.

Artikel terkait: 10 Cara Memenangkan Hati Gen Z Dalam Rekrutmen

Peran Tim HR Merespons Produktivitas Kerja Bagi Gen Z

Berdasarkan pengalaman Janssen, ia meminta pemimpin dan karyawan untuk memetakan seperti apa kehidupan mereka dalam seminggu, termasuk tugas di rumah seperti berpakaian, memasak, dan perjalanan ke kantor, serta tugas di kantor seperti bertemu dengan klien, menyelesaikan pekerjaan inti, hingga mengerjakan tugas lain. 

Dari hasil pemetaan itu, lanjut Jassen, mereka terkejut karena melihat secara visual dari apa yang sebenarnya terjadi sepanjang hari. Ekspektasi mereka adalah mampu menyelesaikan semua hal ini dalam delapan atau sembilan jam sehari, dibandingkan dengan semua hal yang mereka coba selesaikan, yang sebenarnya mustahil sejak awal.

Untuk mempertahankan produktivitas kerja mereka, tim HR dapat melakukan beberapa strategi berikut ini:

1. Budaya transparan dan inklusif

Gen Z sangat menghargai transparansi dalam komunikasi dan proses pengambilan keputusan, sehingga tim HR dapat menciptakan budaya yang inklusif di mana ide-ide mereka–terlepas dari hierarki jabatan–dihargai dan meningkatkan sense of ownership mereka terhadap pekerjaan.

2. Cegah burnout 

Survei menunjukkan bahwa bekerja tanpa henti bukan menilai produktivitas, tetapi salah satu tanda burnout. Untuk menghindarinya, tim HR harus proaktif membantu karyawan menetapkan ekspektasi yang wajar selama hari kerja, sehingga mereka dapat menjalankan tugas secara produktif dan menjalani kehidupan pribadinya. Perusahaan perlu menyediakan program kesehatan mental, seperti wellness allowance, cuti mental, serta mendorong manajer untuk tidak menghubungi karyawan di luar jam kerja yang disepakati.

3. Mentoring 

Gen Z yang terkenal sebagai digital native, masih membutuhkan mentoring yang terstruktur dari karyawan senior. Program mentoring yang baik tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membangun hubungan antar generasi yang kuat. Ini juga bisa memitigasi anggapan bahwa Gen Z kurang disiplin dengan menunjukkan etos kerja dalam pekerjaan sehari-hari.

4. Inisiatif sosial

Mengingat Gen Z sangat menghargai nilai sosial, lingkungan, dan keragaman, sehingga perusahaan perlu merespons hal tersebut untuk melibatkan mereka dalam inisiatif corporate social responsibility (CSR) atau proyek yang berorientasi pada dampak sosial. Ketika mereka melihat tujuan dan makna di balik tugas sehari-hari, keterlibatan dan produktivitas mereka akan meningkat.

Produktivitas Gen Z bukanlah sebuah mitos, melainkan realitas yang membutuhkan pemikiran baru. Mereka tidak membutuhkan pengawasan ketat, tetapi fokus pada penciptaan lingkungan yang selaras dengan nilai mereka seperti otonomi, tujuan, dan pertumbuhan. Langkah tersebut ditempuh oleh perusahaan dapat untuk mengoptimalkan potensi dan meningkatkan produktivitas Gen Z.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *