Sejak pandemi COVID-19, membicarakan mental health di tempat kerja bukan hal terlarang. Bahkan pembahasan tersebut dilakukan secara terbuka atau setidaknya menjadi pembicaraan dalam tim. Kini, karyawan menyadari bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Kondisi itu memengaruhi ekspektasi karyawan terhadap tunjangan yang mereka terima, tunjangan mental health.
Pekerjaan Memengaruhi Kesehatan Mental
Berdasarkan survei Kickresume 2025 kepada 1.028 responden yang berusia produktif, sebanyak 71% responden menyadari bahwa pekerjaan mereka berdampak pada kesehatan mental. Apa dampak paling umum dari pekerjaan? Stres (34%) karena terdapat tenggat waktu pekerjaan yang ketat, beban kerja yang berat, dan tanggung jawab yang dapat menciptakan lingkungan penuh tekanan.
Bagi 23% responden, dampak pekerjaan tidak berhenti begitu mereka meninggalkan kantor atau menutup laptop. Setelah bekerja, suasana hati mereka masih dipengaruhi oleh pekerjaan. Akibatnya, hal itu merembet ke dalam kehidupan pribadi, memengaruhi hubungan, hobi, dan kebahagiaan secara keseluruhan. Sebanyak 23% lainnya melaporkan mengalami kelelahan, tetapi 8% menyatakan pekerjaan sama sekali tidak memengaruhi kesehatan mental mereka.
Tunjangan Mental Health yang Paling Dihargai oleh Gen Z
Untuk menangani stres dan tekanan pekerjaan, karyawan–terdiri dari beberapa generasi–memilih tunjangan, yakni:
- 33% responden menginginkan tunjangan berupa fleksibilitas kerja
- 21% mengharapkan cuti berbayar
- 19% menghendaki tunjangan mental health
- 9% menginginkan peluang pengembangan karier
- 9% mengharapkan fasilitas pusat kebugaran atau wellness
- 9% lain-lain
Hasil survei ini menunjukkan bahwa tunjangan mental health tidak selalu menjadi benefit teratas, tetapi tetap berperan penting terutama bagi karyawan yang paling rentan dan karyawan yang baru memulai karier. Namun, sebanyak 62% responden mengaku tidak pernah memanfaatkan tunjangan kesehatan mental yang ditawarkan oleh perusahaan mereka, baik di pekerjaan saat ini maupun di pekerjaan sebelumnya. Sedangkan 18% lainnya mengatakan hanya menggunakan manfaat kesehatan mental beberapa kali saja, 10% mengandalkannya berkali-kali, dan 10% pernah menggunakannya hanya sekali.
Artikel selanjutnya: Tanda-tanda Masalah Kesehatan Mental Pada Karyawan
Bagaimana Perusahaan Menanggapi Kebutuhan Tunjangan Mental Health Karyawan?
Walaupun mental health benefit tidak menempati posisi teratas, hal itu tidak berarti tunjangan tersebut dianggap opsional. Sebanyak 71% responden mengatakan bahwa tunjangan kesehatan mental cukup penting, 20% menyebutkan netral, dan 9% mengatakan hal itu tidak begitu penting. Sebagian besar karyawan dari berbagai kelompok usia, jenis kelamin, dan jenjang karier menyebutkan opsi ‘cukup penting’ dan hanya sedikit variasi.
Namun, terlepas dari latar belakang tersebut, sentimen yang paling kuat adalah tunjangan kesehatan mental merupakan hal penting. Bahkan 70% karyawan gen z memilih perusahaan yang menawarkan dukungan kesehatan mental yang lebih baik, meski nilai gajinya tidak seperti ekspektasi mereka. Dengan kata lain, mereka bersedia menurunkan gaji asal mendapatkan benefit kesehatan mental.
Bagaimana perusahaan menanggapi kebutuhan karyawan gen z sekaligus generasi lainnya?
1) Kemudahan akses kesehatan mental
Menurut penelitian dari mitra McKinsey dan salah satu pemimpin McKinsey Health Institute Erica Coe dan rekan, gen z lebih mungkin memiliki perasaan negatif tentang media sosial daripada generasi lain, karena kelekatan mereka dengan platform tersebut. Jadi, perusahaan dapat mempertimbangkan untuk memberikan layanan mental health yang mudah mereka akses, lalu berikan pula layanan lain.
Misalnya, perusahaan bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan untuk memberikan aplikasi serta program digital mental health, pelatihan manajemen stres, acara konektivitas kantor, dan kebijakan untuk mengurangi burnout.
2) Dukungan untuk perempuan
Terdapat kesenjangan antara kondisi kesehatan perempuan dan laki-laki yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Lucy Pérez, mitra senior McKinsey, menjelaskan bahwa pemberi kerja harus bertanya pada diri mereka sendiri apakah kebijakan bisnis yang mereka terapkan mendukung kesehatan perempuan, termasuk tunjangan untuk mendukung mereka yang sedang mengalami menopause.
3) Pendekatan holistik
Perusahaan dapat mengambil pendekatan holistik untuk meningkatkan kesehatan karyawan. Adapun enam pendorong kesehatan di tempat kerja yang dapat dibentuk oleh manajemen adalah interaksi sosial, pola pikir dan keyakinan, aktivitas produktif, stres, keamanan ekonomi, dan tidur.
Cek pula: Perusahaan Harus Tahu Cara Mengatasi Kesepian Pada Karyawan
Dalam pemberian tunjangan, perusahaan harus mampu menilai kebutuhan karyawan. Bukan berarti mereka terlihat sehat, maka mereka tak membutuhkan tunjangan kesehatan mental. Bagi karyawan gen z, perusahaan yang fokus pada peningkatan interaksi sosial dan keamanan ekonomi dapat membantu, karena tingkat kesepian dan tekanan keuangan pribadi saat ini begitu menekan mereka.
Kini, kesehatan mental bukan hal tabu untuk dibicarakan, tetapi ini masih menjadi isu yang rumit dan sensitif. Tidak semua karyawan bersedia menggunakan fasilitas bagi mereka. Namun, hal itu tidak mengurangi betapa penting perusahaan menyediakan sumber daya tersebut.
Ya, karyawan tak sekadar menginginkan tunjangan mental health, juga membutuhkan lebih banyak otonomi, fleksibilitas kerja, waktu istirahat, dan work-life balance.
Leave a Reply