Pandemi COVID-19, mengubah banyak hal dalam hidup kita, termasuk perubahan di dunia kerja. Setelah lima tahun berlalu, dampak yang ditinggalkannya masih terasa dan dunia kerja menghadapi tantangan pascapandemi. Mulai dari model kerja, burnout, peran manajer, hingga kehadiran artificial intelligence (AI).
Dalam survei yang dilakukan oleh perusahaan teknologi pendidikan global, Moodle, sebesar 66% warga Amerika Serikat (AS) mengatakan mereka mengalami burnout tahun ini, dengan faktor pendorong utamanya adalah beban kerja, kekurangan sumber daya, dan kondisi ekonomi.
Apakah perusahaan atau organisasi Anda seperti itu?
Bagaimana Kondisi Dunia Kerja Pascapandemi COVID-19?
Menurut Matthew Owenby, Chief Strategy Officer di Aflac, jelas terdapat tiga tantangan yang menghantui tempat kerja, yaitu masalah fleksibilitas sistem kerja–hybrid atau remote full time–burnout yang tinggi, dan ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari pekerjaan.
Namun, tantangan pancapandemi tak hanya itu, karena kondisi karyawan dan hubungan mereka dengan manajer juga menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan. Berikut ini ulasannya:
1. Model kerja belum stabil
Pandemi memicu eksperimen dalam model kerja, dari work from office (WFO), work from home (WFH), work from anywhere (WFA), hybrid, hingga remote. Pascapandemi, tak sedikit perusahaan meminta karyawan untuk WFO tetapi mereka menolaknya karena model kerja tersebut tidak fleksibel. Kondisi ini menciptakan ketegangan di antara kedua belah pihak.
Karyawan merasa tidak memiliki autonomi dan menganggap perusahaan tidak memperhatikan kebutuhan merekaa. Sebaliknya, perusahaan berpendapat bahwa WFH atau hybrid mengurangi produktivitas. Alhasil, tak sedikit karyawan memutuskan untuk pindah ke organisasi yang sejalan dengan nilai-nilai mereka.
Bagi Owenby, bekerja jarak jauh tidak terlalu mengancam produktivitas, tetapi membuat mereka bekerja berlebihan. Ketika karyawan WFH, mereka tidak mendapatkan waktu istirahat alami, tetapi di kantor, mereka akan meninggalkan meja untuk minum kopi, makan siang, atau mengobrol dengan rekan kerja.
2. Mental health dan employee wellbeing
Pandemi meningkatkan kesadaran tentang mental health, tetapi banyak perusahaan belum menyediakan dukungan yang memadai. Berdasarkan Gallup, stres dan kekhawatiran memicu penurunan kesejahteraan dan mental health di tempat kerja, bahkan ketika pandemi COVID-19 telah berlalu. Kualitas manajemen–termasuk pemimpin–juga berpengaruh terhadap employee wellbeing. Misalnya, pemimpin yang kurang mampu mengimplementasikan budaya kerja yang positif memuat anggota timnya stres dan burnout.
3. Keterampilan pemimpin
Tantangan pascapandemi berikutnya adalah manajer tidak lagi bisa mengandalkan pengawasan fisik. Mereka harus mampu memimpin tim yang tersebar sembari membangun kepercayaan dari jarak jauh dan mengelola kinerja berdasarkan hasil, bukan jam kerja. Masalahnya adalah tak semua manajer dapat beradaptasi dengan cara kerja tersebut, sehingga hal ini menghambat produktivitas dan moral tim.
4. Budaya perusahaan melemah
Budaya perusahaan sering kali dibangun di atas interaksi tatap muka, seperti diskusi di pantry, makan siang bersama, atau acara kantor. Dengan model kerja hibrida atau jarak jauh, membangun dan mempertahankan budaya ini menjadi lebih sulit. Karyawan baru bisa merasa tidak terhubung dengan perusahaan dan rasa kebersamaan tim yang sebelumnya kuat bisa memudar. Ini berdampak pada employee engagement, loyalitas, dan retensi.
5. Burnout
Jika pemimpin atau manajer membuat setiap pekerjaan seperti tugas prioritas, salah mengomunikasikan ekspektasi, membebani tim dengan tenggat waktu yang ketat, atau mengganggu karyawan di akhir pekan atau di luar jam kerja untuk mengerjakan sesuatu, maka kondisi karyawan burnout tidak bisa terelakkan.
Baca pula: 9 Strategi HR Mengatasi Karyawan Burnout
5 Strategi Pengelolaan SDM Pascapandemi
Menghadapi tantangan tersebut, tim HR berperan penting sebagai agen perubahan dan jembatan antara kebutuhan perusahaan dengan harapan sumber daya manusia (SDM) alias karyawan. Beberapa strategi yang dapat menjadi referensi ialah:
1. Miliki kebijakan jelas
Tim HR dan manajemen perlu memiliki kebijakan jelas, adil, dan fleksibel. Contohnya, menetapkan model kerja hibrida, menjelaskan tujuan dari kebijakan tersebut, menjadwalkan kapan karyawan hadir ke kantor agar interaksi tatap muka tetap terjaga, dan menerapkan matriks kinerja jelas dan terukur, alih-alih fokus pada jam kerja saja.
2. Utamakan employee wellbeing
Tim HR perlu memberikan dukungan fisik dan mental demo kesejahteraan karyawan. Langkah ini ditempuh agar mereka lebih terlibat dalam pekerjaan serta perusahaan. Misalnya, memberikan dukungan psikologi berupa akses konseling atau layanan kesehatan mental pihak ketiga, menawarkan program kesehatan fisik seperti keanggotaan gym atau kelas yoga, atau mendorong karyawan menentukan cuti tahunan guna mencegah burnout.
3. Kembangkan keterampilan pemimpin
Manajer adalah kunci keberhasilan pengelolaan tim, maka perusahaan harus membekali mereka dengan keterampilan yang tepat. Sebut saja, memberikan pelatihan kepemimpinan kepada manajer agar mereka mengetahui cara mengelola, berkomunikasi efektif, memberikan umpan balik konstruktif, serta membangun kepercayaan tim. Tim HR juga perlu memasangkan manajer baru dengan manajer berpengalaman agar mereka siap memimpin tim.
Artikel lain: Alasan Manajer Gagal Memotivasi Karyawan
4. Jaga budaya perusahaan
Budaya tidak terbentuk secara kebetulan, ini harus dibangun secara berkesinambungan melalui interaksi virtual atau tatap muka yang kreatif, mengadakan pertemuan rutin dengan CEO atau manajemen senior untuk memberikan informasi terbaru dan menjawab pertanyaan karyawan secara langsung, serta memberikan pengakuan atas pencapaian karyawan secara publik.
5. Transparansi dan komunikasi
Perusahaan wajib menjalankan komunikasi dan transparansi kepada karyawan untuk membangun kepercayaan mereka. Pastikan semua kebijakan baru, perubahan, dan alasan di baliknya dikomunikasikan secara jelas dan berlaku kepada seluruh karyawan.
Di balik tantangan pascapandemi, terdapat peluang untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih fleksibel, suportif, dan produktif.
Leave a Reply