Dress code tak hanya tertulis dalam undangan pesta saja. Perusahaan pun perlu menetapkan kebijakan dress code untuk menciptakan profesionalisme serta standar keselamatan kepada karyawan. Kebijakan ini juga harus dijalankan oleh semua orang yang bekerja, mulai dari staf bagian umum hingga pemimpin dan pemilik perusahaan guna memastikan mereka memiliki standar penampilan yang sama.
Apa Itu Kebijakan Dress Code?
Dress code merupakan seperangkat panduan bagi karyawan tentang busana yang harus mereka kenakan saat bekerja. Tak sedikit perusahaan memiliki kebijakan ini, karena menegakkan standar keselamatan dan/atau membentuk citra positif perusahaan di mata pemangku kebijakan, klien, pelanggan, hingga masyarakat.
Dengan kebijakan dress code, perusahaan memastikan karyawan menampilkan diri dengan baik ketika menjalankan pekerjaan sehari-hari. Namun, kebijakan tergantung pada industrinya, seperti, pemimpin tim di perusahaan tambang memastikan anggotanya mengenakan pakaian khusus ketika bekerja di lapangan sebagai upaya keselamatan kerja, pekerja hotel yang membersihkan kamar mengenakan busana tertentu untuk menegakkan standar sanitasi, atau karyawan perusahaan retail mengenakan busana sama, yakni kemeja biru dan celana hitam.
Bagi perusahaan, menetapkan aturan berpakaian di kantor menjadi langkah penyeimbang antara menjaga citra profesional tanpa terkesan kuno atau kurang paham budaya. Untuk karyawan, langkah tersebut memudahkan mereka menentukan pakaian apa yang pantas dikenakan ke tempat kerja.
Banyak yang beranggapan bahwa kebijakan ini hanya untuk pekerja work from office (WFO), tetapi kenyataannya tidak demikian. Kimberly Rogan, Head of People Operation PlanHub, mengatakan timnya membuat kebijakan dress code untuk semua orang, termasuk karyawan remote. Langkah ini memperhitungkan beberapa tantangan tak terduga, seperti staf yang tidak mengenakan celana saat rapat daring.
Baca juga: Kode Etik Kembangkan Budaya Kerja yang Etis
Tipe Dress Code
Ada berbagai dress code yang ditetapkan oleh perusahaan di luar sana, tetapi pada dasarnya terdapat empat tipe, yaitu:
- Business formal: kebijakan dress code ini disebut paling rapi, karena mengharuskan karyawan mengenakan setelan jas gelap (hitam, biru tua, dan abu-abu tua), blus dan rok (biasanya warna gelap juga), serta sepatu formal (pantofel untuk laki-laki dan heels untuk perempuan)
- Business professional: aturan berpakaian ini mencakup setelan jas, kemeja, dasi, celana panjang, dan sepatu formal atau busana alternatifnya berupa blazer, blus, dan rok selutut atau celana panjang resmi dengan sepatu hak tinggi atau flat shoes formal
- Business casual: dress code ini memungkinkan karyawan menggunakan beragam pilihan baju, seperti kemeja, blus, gaun, sweater, celana panjang, celana chino, rok selutut, dengan pantofel, flat shoes, dan sneakers kasual lainnya
- Casual: biasanya, perusahaan rintisan, creative agency, dan production house memperbolehkan karyawan mengenakan kaus, sweater, celana jins, celana khaki, rok, dengan sneakers, bot, atau sandal
Artikel selanjutnya: 6 Cara Membentuk Budaya Belajar di Tempat Kerja
4 Poin yang Harus Tercantum dalam Kebijakan Dress Code
Kebijakan aturan berpakaian dapat ditulis oleh tim HR dan/atau manajemen mulai dari satu kalimat hingga dokumen beberapa halaman. Secara umum, kebijakan tersebut harus mencantumkan informasi berikut ini:
1. Pedoman umum
Kebijakan harus dimulai dengan ikhtisar umum tentang ekspektasi perusahaan terhadap kebersihan, kesehatan, keselamatan kerja, dan/atau profesionalisme. Bagian ini dapat menjelaskan klasifikasi kode berpakaian umum, seperti business casual, casual, atau business formal.
2. Deskripsikan dan berikan contohnya
Pedoman casual atau business formal kerap membingungkan karyawan, karena mereka ada kemungkinan mereka memiliki persepsi berbeda. Sebaiknya, Anda mendeskripsikan atau mendefinisikan istilah tersebut dan berikan contoh jenis pakaiannya yang dapat dan tidak dapat digunakan saat bekerja.
Beberapa perusahaan juga bisa menjelaskan tentang panduan menggunakan perhiasan, tato, tindik, dan standar perawatan diri. Pada bagian ini, Anda harus menuliskan poin-poin yang dapat menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan oleh karyawan.
3. Pelaksanaan
Aturan berpakaian harus menyatakan tindakan apa yang akan diambil jika karyawan melanggar aturan berpakaian. Misalnya, karyawan tidak berbusana sesuai kebijakan, lalu ia harus pulang untuk berganti pakaian.
4. Pertanyaan dan pengecualian
Karyawan juga dipersilakan untuk menghubungi departemen SDM jika memiliki pertanyaan atau ingin meminta pengecualian dari kebijakan ini. Misalnya, karyawan memerlukan pengecualian karena praktik keagamaan, kesehatan, atau kondisi tertentu seperti ia sedang hamil.
Baca pula: Union Busting: Ancaman Memperjuangkan Hak Karyawan
Poin yang Tidak Perlu Dicantumkan
Robert Kaskel, Chief People Officer Checkr, menyarankan perusahaan untuk meminimalkan batasan kode berpakaian agar tidak menghalangi identitas budaya karyawan. Menurutnya, setiap aturan harus netral gender dan berlaku untuk semua karyawan.
“Meskipun Anda mungkin perlu menerapkan kebijakan aturan berpakaian, jauh lebih penting untuk tetap menerapkannya secara minimal dan membiarkan tim mengekspresikan diri melalui pakaian mereka.”
Poin apa saja yang tak perlu dicantumkan dalam kebijakan dress code?
Persyaratan gaya atau tata rambut. Ini perlu dipertimbangkan secara matang sebelum diterapkan, karena ini bisa memengaruhi praktik keagamaan karyawan. Beberapa agama mungkin mewajibkan penganutnya untuk menutupi rambut mereka.
Jika perusahaan tetap ingin mengatur tata rambut karyawan, sebaiknya berfokus pada hal tertentu dan jelaskan alasannya. Misalnya, perusahaan yang bergerak dalam bisnis consulting atau keuangan ingin karyawan mereka berpenampilan formal, sehingga melarang karyawan mewarnai rambut dengan warna merah, biru, ungu, atau warna-warna terang, tetapi memperbolehkan mewarnai rambut dengan warna cokelat tua atau sesuai warna rambut asli.
Perusahaan boleh membuat kebijakan apa saja, tetapi jangan sampai mendiskriminasi kelompok tertentu. Sebaiknya, Anda dan manajemen dapat mengadopsi kebijakan yang sesuai dengan keadaan karyawan.
Leave a Reply