Salah satu strategi tenaga kerja terkini yang ingin meningkatkan karier adalah melakukan office frogging. Upaya ini juga dilakukan guna memperoleh kompensasi dan benefit lebih tinggi hingga lingkungan kerja yang positif.
Sebagai tim HR atau perekrut, office frogging membuat tim harus memperluas kesabaran karena mereka tak akan bekerja di perusahaan Anda dalam waktu lama. Tentu, kondisi ini akan mengganggu kinerja tim, bahkan dapat menghambat produktivitas perusahaan jika yang mengundurkan diri karyawan berprestasi.
Fenomena Office Frogging Pada Tenaga Kerja Terkini
“Sering kali karyawan merasa mereka tidak lagi belajar atau bosan dengan peran mereka saat ini,” ujar Peter Duris, CEO Kickresume, pencipta istilah baru tersebut.
Office frogging merupakan istilah yang merujuk kepada seseorang untuk berpindah-pindah pekerjaan. Mereka memilih berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, berganti peluang dengan cepat dan berulang kali. Ibarat katak, ia berjalan dengan melompat dari satu tempat ke tempat lain. Istilah lainnya adalah job hopping.
Fenomena ini semakin menekankan gagasan bahwa sangat sulit untuk mengikat karyawan. Siapa yang melakukan office frogging? Karyawan Gen Z, tetapi generasi Zoomers bukan satu-satunya yang melakukannya.
Mereka menggunakan taktik tersebut karena faktor internal, seperti masalah di tempat kerja atau kurang dukungan dari perusahaan. Faktor eksternal seperti keinginan untuk mendapatkan lebih banyak pengalaman atau gaji lebih tinggi.
HR Digest menyebutkan bahwa mempertahankan karyawan dalam jangka waktu lama selalu menjadi tantangan perusahaan. Strategi retensi dan keterlibatan karyawan yang dirancang oleh mereka pun tak cukup untuk “menahan” mereka.
Baca juga: HR Harus Bersiap Hadapi Karyawan Gen Alpha, Ini 3 Kiatnya
Pilihan Gen Z dengan Office Frogging
Memegang kendali karier
Gen Z memilih office frogging karena mereka ingin memegang kendali perkembangan karier berada di tangan mereka sendiri. Mereka juga menjaga dan mencari peluang di mana pun mereka bisa bekerja.
Tanda tren ini telah terlihat selama berbulan-bulan, terutama yang berhubungan dengan ketidakpedulian mereka terhadap peran manajerial. Meski menginginkan perkembangan karier, tetapi mereka tidak terlalu terkesan dengan jabatan. Bahkan mereka cenderung tidak ingin naik jenjang karier seperti generasi sebelumnya. Alih-alih memandang posisi manajerial sebagai medali kehormatan, Gen Z lebih berfokus pada gaji dan tunjangan yang menyertai kesuksesan karier.
Survei Glassdoor menunjukkan bahwa karyawan Gen Z merasakan manfaat karier yang lebih besar dengan melompat dari satu karier ke karier lainnya. Mereka tidak bergantung pada tempat kerja saat ini untuk memajukan karier, karena sifat pekerjaan sedang berubah.
Di samping itu, banyak perusahaan telah mengarahkan perhatian kepada teknologi. Tak sedikit pula yang berinvestasi dalam AI daripada retensi karyawan. Karyawan senior yang berpengalaman pun menyarankan mereka berganti pekerjaan setiap beberapa tahun, sebelum perusahaan menggantikan mereka.
Artikel selanjutnya: Produktivitas Kerja Bagi Gen Z: Masa Depan Perusahaan
Pro dan kontra
Dampak terhadap karyawan
Dalam setiap pergantian pekerjaan, seseorang akan mendapatkan pengalaman, keterampilan, jaringan, dan manfaat kerja yang berbeda untuk dimanfaatkan di masa mendatang, sehingga tidak ada ruang untuk kebosanan atau stagnasi. Terlebih jika mereka yang berganti pekerjaan menemukan pertumbuhan karier yang lebih substansial daripada bertahan di satu pekerjaan selama bertahun-tahun.
Perpindahan pekerjaan yang cepat juga bisa membingungkan karier karyawan, karena berulang kali mencari pekerjaan mengharuskan mereka mempelajari cara kerja baru. Bahkan mereka dapat menduduki peran yang sama dengan gaji sama, tanpa ada penambahan keterampilan dan jaringan profesional.
Data menunjukkan bahwa sering berpindah pekerjaan berdampak pada tabungan pensiun dan status keuangan Gen Z secara keseluruhan.
Perusahaan selalu waspada
Fenomena ini memiliki pro dan kontra antara karyawan Gen Z dengan perusahaan. Perusahaan selalu waspada ketika mempekerjakan mereka, karena mereka bekerja tak lama, lalu mengundurkan diri.
Jadi, tim HR harus mencari pengganti dan melatih lagi karyawan baru, di mana kondisi ini bisa menjadi pekerjaan yang merepotkan. Jika ada karyawan resign, mereka beralasan gara-gara rekan kerja mengundurkan diri terlebih dahulu dan mengajaknya bergabung di tempat baru.
Alhasil, perusahaan pun enggan merekrut tenaga kerja terkini, setelah melihat daftar riwayat panjang perpindahan karier. Hal ini tak akan terjadi bila perusahaan berinvestasi dalam perubahan strategi retensi karyawan serta employee engagement.
Cek laman ini: 3 Tantangan Pascapandemi Bagi Pemimpin dalam Kelola Tim
2 Langkah HR dalam Merespons Fenomena Ini
Selama 2025, tim HR menghadapi penolakan return to office (RTO) dari karyawan, kesulitan menjalankan diversity, equity, and inclusion (DEI), hingga kebingungan seputar kebijakan artificial intelligence (AI).
Tren office frogging di kalangan karyawan Gen Z merupakan akibat langsung dari perubahan yang terjadi di tempat kerja. Jadi, untuk merespons tren ini, tim HR dan manajemen perlu membuat strategi pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang stabil dan konsisten, yaitu:
1) Peluang kerja jelas
Menawarkan peluang kerja yang jelas sekaligus menggambarkan jalur karier dapat menjadi cara termudah untuk meyakinkan Gen Z agar tetap bertahan. Bila peran tersebut tak menarik, tetapi perusahaan menawarkan gaji menarik, mereka akan tetap bekerja dalam jangka waktu lama. Misalnya, tim HR memiliki program yang dapat mengatasi kesepian di tempat kerja, mendengarkan keluhan karyawan, dan mengubah budaya kerja.
2) Fleksibilitas kerja
Perusahaan yang memberikan fleksibilitas kerja, seperti durasi kerja, memulai jam kerja, atau bisa bekerja di mana saja menjadi komponen penting dalam daftar tunjangan yang dicari oleh generasi pragmatis ini. Perusahaan juga dapat menjalankan keamanan kerja dan menjamin pekerjaan mereka berumur panjang, sehingga mereka memilih bertahan di tempat sekarang.
Kehadiran office frogging bukan untuk saling menyalahkan siapa yang salah, tetapi ini saat perusahaan dan karyawan duduk bersama untuk memahami masalah dan kebutuhan yang dihadapi oleh masing-masing pihak.
Pada akhirnya, individu yang bekerja menjadi bagian dari perusahaan. Mereka hadir untuk sementara waktu, lalu berpindah ke tempat lain.

Leave a Reply