quiet quitting

Quiet Quitting Bukan Fenomena Baru, Ini Tips Menghadapinya

Berawal dari unggahan media sosial pada pertengahan 2022 lalu, istilah quiet quitting ramai diperbincangkan. Padahal, istilah tersebut bukanlah hal baru.

Sejak istilah tersebut tersebar di berbagai penjuru dunia maya, tingkat kesadaran akan fenomena ini pun bertambah. Tidak sedikit orang berkomentar, “Itu sesuai dengan kondisi saya!”.

Dan apakah quiet quitting memiliki arti secara harfiah ‘diam-diam keluar’?

Melalui artikel kali ini, mari berkenalan dengan quiet quitting lebih jauh lagi untuk memahami fenomena tersebut. Terlebih jika fenomena ini menghampiri lingkungan kerja Anda.

Apa Itu Quiet Quitting?

Mengutip Investopedia, quiet quitting adalah istilah yang menggambarkan keadaan seseorang yang hanya melakukan pekerjaan seminimal mungkin dan tidak mau berusaha untuk mengeluarkan effort lebih dari yang seharusnya.

Kita lihat contoh quiet quitting berikut ini.

Misalnya, pegawai administrasi. Pegawai tersebut hanya melakukan pekerjaan berdasarkan job description yang disepakati. Ia hanya mengikuti jam kerja sesuai ketentuan perusahaan, tidak menerima panggilan atau permintaan terkait pekerjaan setelah jam kerja berakhir.

Cakupan quiet quitting tidak sampai di situ. Orang yang bertindak demikian tidak merasa sungkan untuk meminta cuti, meskipun ia memiliki atasan yang ketat mengenai itu. Di sini, para quiet quitters mampu membuat batasan jelas antara urusan pekerjaan dan pribadi.

Pertanyaan berikutnya, apakah fenomena ini benar-benar dilakukan sebagian orang, atau hanya imajinasi ideal saja?

Sejak fenomena ini semakin disadari–social media power–semakin banyak pula orang yang (mungkin) tanpa sadar menerapkannya.

Dalam catatan Gallup, setidaknya 50% pekerja di U.S. menerapkan quiet quitting. Ini diikuti dengan fenomena The Great Resignation yang melanda negeri adidaya tersebut.

Mengapa Quiet Quitting Terjadi?

  • Disengagement terhadap pekerjaan
  • Manajemen yang buruk
  • Pandemi Covid-19

Setelah membaca definisi di atas, mungkin Anda berpikir bahwa kategori quiet quitters terbagi dua; mereka yang sejak awal memiliki prinsip ‘kerja sesuai porsi’, dan mereka yang mengalami penurunan rasa engagement hingga akhirnya memilih untuk kerja sesuai porsi saja.

Fenomena ini menghampiri persona kedua, yaitu mereka yang motivasi dan keterlibatan kerjanya menurun.

Mudahnya, salah satu alasan quiet quitting terjadi adalah karena adanya disengagement dari karyawan.

Engagement adalah rasa keterlibatan seseorang terhadap pekerjaannya secara psikologis. Pekerja dengan high engagement tidak mudah merasa demotivasi dan cenderung produktif dalam melahirkan ide-ide baru.

Ditambahkan dalam catatan Gallup, faktor manajemen yang buruk juga menjadi salah satu pemicu quiet quitting terjadi.

Sedangkan dalam simpulan yang dirangkum World Economic Forum, pandemi Covid-19 yang melanda dunia menjadi salah satu penyebab istilah quiet quitting jadi semakin dikenal.

Pandemi menyebabkan banyak pekerja mengalami burnout syndrom yang berdampak pada motivasi kerja dan engagement. Di sisi lain, pandemi menciptakan sistem kerja baru (work from home, work from anywhere, hybrid system) dan membuat orang menyadari pola kerja dengan batasan yang jelas.

Semua mendorong pekerja generasi muda untuk merasa mereka bisa menetapkan batas antara bekerja seperlunya dan memberdayakan diri sendiri.

Quiet quitting, seperti dikutip dari WFE, adalah sebuah fenomena menghadapi burnout system di tempat kerja. Sehingga pada esensinya, sangat memungkinkan bahwa ini sudah terjadi jauh sebelum unggahan media sosial di atas tersebar.

Apakah Quiet Quitting Baik atau Buruk bagi Organisasi?

quiet quitting

Penjelasan di atas mencakup sudut pandang pekerja yang memilih untuk quiet quitting. Namun, bagaimana dari sisi perusahaan/organisasi? Bagaimana manajer atau HR melihat karyawannya hanya bekerja sesuai porsinya dan tidak mau terlibat lebih jauh ke dalam pekerjaan?

Jika di dalam organisasi Anda banyak karyawan yang melakukan quiet quitting, lima tips berikut bisa Anda jalankan:

1. Manajer harus aware kondisi karyawan

Para manajer atau team leader harus sadar sikap kerja dari timnya. Jika mereka memilih untuk quiet quitting, padahal manajemen butuh mereka untuk mengeluarkan usaha lebih, manajer harus melakukan pendekatan.

Lakukan pembicaraan one on one untuk mendapatkan komprehensif situasi dari si karyawan. Apakah tanpa sadar ada beban kerja berlebihan yang tidak mampu ditangani oleh satu orang? Apakah ada peer pressure yang membuat mereka stres? Atau sebaliknya, ini bisa jadi kesempatan untuk para manajer refleksi akan leadership mereka.

2. Stop menuntut, mulai mendengarkan

Sejak pandemi melanda, banyak bisnis yang tidak stabil. Masih bertahan dengan usaha karyawan dan manajemen yang berdarah-darah masih syukur, kasarnya. Meski begitu, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan utama untuk mendorong karyawan melakukan semua hal secara bersamaan.

3. Manajer dan HR saling bekerja sama

Jika terdapat beban kerja yang tidak imbang, manajer bisa berdiskusi dengan HR untuk memperbaiki situasi.

Contohnya, kajian ulang beban kerja. Jika kekurangan staf, tetapi beban kerja harus terpenuhi, perusahaan bisa menawarkan kompensasi tambahan kepada karyawan.

Pilihan lain bisa dengan menambah jumlah staf tidak tetap, jika biaya manpower menjadi isu besar saat ini. Dengan menambah tenaga, beban kerja jadi terbagi dan menghindarkan karyawan dari burnout.

4. Suportif, tapi jangan lip service

Kadang, karyawan hanya menginginkan hal sesederhana word of affirmation dari leader/manager mereka. Dukungan yang Anda ucapkan secara reguler bisa meningkatkan motivasi kerja karyawan. Gesture ramah dan suportif bisa jadi dorongan untuk berusaha lebih banyak di tempat kerja.

Namun, jangan sampai itu hanya manis di mulut.

Saat Anda terlanjur mengucapkan janji memberikan dukungan a, b, c, d, usahakan untuk tepati janji Anda. Jangan berujung karyawan merasa itu semua hanya lip service dan mereka tidak merasa perubahan pada pekerjaannya.

5. Feedback jujur

Saat semua usaha tidak berhasil dan karyawan tetap kerja seperlunya, atau bahkan mengundurkan diri, Anda tidak bisa berbuat apa-apa. Keinginan untuk resign tentu di luar kontrol siapa pun, dan itu hak dari setiap karyawan.

Akan tetapi, memiliki daftar yang harus diperbaiki dalam manajemen dan organisasi akan menjadi bekal agar hal yang sama tidak terulang.

Saat exit interview, dapatkan feedback yang jujur dari karyawan, dan jadikan itu sebagai bahan evaluasi di organisasi.

Penutup 

Quiet quitting bukan fenomena baru. Istilah ini merebak akibat unggahan media sosial dan membuat banyak orang sadar bahwa ini bisa terjadi di siapa pun, termasuk mereka sendiri.

Apakah quiet quitting hal yang sepenuhnya buruk? Bagi perusahaan, tentunya ini bisa mengancam produktivitas dan pencapaian kinerja secara keseluruhan. Maka itu, diperlukan pendekatan dan aksi nyata dari pemimpin dan HR terhadap fenomena ini.

Namun bagi individual, ini tidak sepenuhnya buruk. Dengan menetapkan garis batasan jelas antara pekerjaan dan urusan pribadi, mereka memiliki kesempatan untuk melakukan hal lain yang lebih memberdayakan. Seperti membuka usaha sampingan, mengikuti pelatihan bidang yang diminati, mengurus keluarga, atau sekadar meningkatkan kebugaran.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *