Beberapa pendapat menyatakan bahwa cultural transformation memerlukan perubahan organisasi yang masif. Namun, transformasi tidak selalu seperti itu.
Sebaliknya, perusahaan dapat melakukan transformasi budaya bertahap untuk mendukung misi dan tujuan perusahaan jangka panjang.
Dalam beberapa kasus, kesuksesan cultural transformation terjadi karena organisasi mampu mengenali budaya yang sudah ada dan membangun proses yang memungkinkan budaya tersebut berkembang.
Ignasius Jonan, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero) periode 2009-2014, memberikan tip melaksanakan dalam webinar SWA HR Excellence 2021 pada Jumat (20/08/2021).
“Transformasi kultural itu hanya bisa dilakukan apabila org nomor satu di organisasi itu menghendaki adanya cultural transformation dan memimpin sendiri cultural transformation. Kalau bukan orang nomor satu yang menghendaki, biasanya itu tidak mudah atau nggak bisa jalan. Sampai kita selesai tugas, nggak bisa jalan,” ujar Jonan mengawali pembicaraan.
1) Responsif terhadap perubahan
Untuk menerapkan cultural transformation, kita pertama yang bisa dilakukan menurut Jonan seperti ucapan Charles Darwin, ‘Bukan yang paling kuat yang survive, bukan juga yang paling cerdas, tapi yang paling responsif pada perubahan.’
“Kalau kita lihat 2008, 10 perusahaan terbesar di dunia, lima perusahaan sumber daya alam. Nomor satu, PetroChina; nomor dua, Exxon; dan sebagainya. Setelah 10 tahun, 2018, perusahaan-perusahaan itu hilang semua. Gantinya itu Apple, Microsoft, Amazon, Alibaba, dan sebagainya,” kata Menteri ESDM periode 2016-2019.
2) Menyadari tiga hal
Dalam transformasi budaya, perusahaan harus memahami tiga hal, yakni friksi, kebingungan, dan underperformance.
“Saya percaya yang dikatakan Peter Drucker, yakni only three things happen naturally in organizations, friction, confusion, underperformance. Everything else requires leadership.”
3) Pantang menyerah
Jonan membagi pengalamannya di PT KAI. Kala itu, perusahaan memiliki pegawai sekitar 24.600 orang. Namun 9.000 karyawan hanya tamatan sekolah dasar (SD) dan 6.000-7.000 karyawan memiliki pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) atau setingkat.
“Coba bayangkan bagaimana saya melakukan transformasi kultur, disiplin, dan sebagainya dengan modal itu 60% pasukan saya itu SD dan SMP. Kalau SD dan SMP umur 19 tahun atau 20 tahun bisa ikut belajar, tetapi kalau umurnya 50 tahun, disuruh ikut apa coba? Ini menjadi tantangan besar buat saya,” ceritanya.
Ia tak menyerah dan tetap melakukan perubahan di perusahaan kereta api milik negara secara perlahan. Hasilnya, transformasi budaya internal berjalan lancar. Bahkan transformasi dilanjutkan secara eksternal, yakni penerapan sistem elektronik di semua stasiun kereta api listrik (KRL) Jabodetabek.
4) Manusiawi
Jonan mengingatkan bahwa jika ingin mengubah kultur, karyawan harus diperlakukan secara manusiawi dan bersikap disiplin dengan kuat. Ia mencontohkan perusahaan multinasional seperti Citi dan Unilever yang selalu memperlakukan karyawannya secara manusiawi.
“Mereka menggunakan global standard yang paling tidak sensitif terhadap kultur apa pun. Jadi, orang tidak merasa terhina dan tidak merasa terjajah. Nah, kita itu standarnya kayak apa? Kalau kita memimpin maunya dilayanin, it doesn’t work,” ucap alumni Universitas Airlangga ini.
5) Kerja keras
Jonan menegaskan bahwa mengubah budaya perusahaan tak sekadar wacana atau hanya omongan. Upaya ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
“Mengubah kultur bukan hanya omong-omong atau mimpi-mimpi, you have to work very hard.”
6) Eksekusi
Kiat yang tak kalah penting dalam cultural transformation adalah eksekusi. Menurutnya, membuat strategi adalah langkah penting, tetapi eksekusi adalah segalanya.
7) Kepemimpinan
Poin terakhir adalah kepiawaian seorang pemimpin. Pria yang menjabat sebagai Komisaris Independen PT Anabatic Technologies Tbk. mengatakan bahwa pemimpin sejati tidak menciptakan perpisahan, ia justru bisa menyatukan semua orang dalam organisasi.
“Mulai dari rantai komando saya ke bawah. No change leader. Ada tim kecil yang namanya litbang, tetapi itu untuk monitor saja dan melihat perubahannya sampai mana. Tapi yang memimpin itu orang yang di rantai komando sama. Tujuannya supaya tidak create separation. Jangan sentimen, ‘ini orang saya, ini bukan orang saya jadi enggak bisa ikut.’ Kalau sudah begitu, I think you’ll never achieve any success,” tegasnya.
Leave a Reply