Tantangan pascapandemi bagi pemimpin sama rumitnya seperti awal pandemi COVID-19, di mana banyak hal-hal dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari telah berubah. Tak heran jika tingkat burnout berada pada titik tertinggi sepanjang masa.
Hal itu ditunjukkan oleh survei perusahaan teknologi pendidikan Moodle, yakni sebesar 66% warga Amerika Serikat (AS) mengalami burnout tahun ini. Faktor utama yang memengaruhinya adalah beban kerja, kurang sumber daya, dan kondisi ekonomi. Situasi ini cukup menantang bagi pemimpin karena ia perlu mendorong dan memotivasi anggota timnya untuk mendukung tujuan perusahaan.
3 Tantangan Pascapandemi Bagi Pemimpin yang perlu Diantisipasi
Pada Maret 2020, mayoritas karyawan bekerja jarak jauh secara penuh waktu. Banyak di antaranya adalah karyawan yang baru bekerja untuk pertama kalinya dalam karier mereka. Berdasarkan Flex Index Report, hanya 25% perusahaan yang menawarkan fleksibilitas penuh pada akhir 2024, sedangkan 43% perusahaan mengharuskan karyawan bekerja dari kantor pada jadwal yang ditetapkan rata-rata tiga hari.
“Saya cenderung mengatakan ini dari tahun ke tahun, hal-hal yang mengkhawatirkan terus mengkhawatirkan. Sungguh luar biasa bahwa tidak banyak yang berubah ke arah yang positif,” ujar Matthew Owenby, Chief Strategy Officer di Aflac.
Dari keadaan itu, terdapat tiga tantangan pascapandemi bagi pemimpin, yakni masalah fleksibilitas, karyawan burnout dengan level tinggi, serta ketidakmampuan untuk melepaskan diri. Jika perusahaan ingin mengubah tempat kerja positif dan produktif, maka Anda harus memulai dari ketiga hal itu.
1. Fleksibilitas
Sebelum pandemi, Aflac telah menerapkan model kerja hibrida dan jarak jauh sepenuhnya. Ketika pandemi dan pascapandemi, mereka tak mengubah model kerja tersebut atau mendorong karyawan kembali bekerja dari kantor.
Owenby menyarankan kepada pemimpin perusahaan untuk mempertimbangkan kembali apakah kemampuan bekerja dari rumah berdampak negatif pada keterlibatan atau produktivitas sebelum menghilangkan opsi tersebut. Pasalnya, bekerja jarak jauh tidak terlalu mengancam produktivitas, tetapi lebih menjadi ajakan untuk bekerja berlebihan.
Untuk memastikan produktivitas dan keterlibatan karyawan, pihak Owenby melakukan survei dua kali dalam setahun. Hasilnya adalah tingkat keterlibatan mereka tetap sama atau bahkan lebih tinggi. Sekadar ilustrasi, saat karyawan bekerja di kantor, mereka bisa saja meninggalkan meja untuk minum kopi, makan siang, atau mengobrol dengan rekan kerja.
“Kami harus memastikan karyawan tidak bekerja terlalu keras. Itulah yang kami lihat, ketika karyawan kami di rumah, mereka tidak mendapatkan waktu istirahat alami.”
Owenby justru mendorong karyawan yang bekerja dari rumah untuk menjadwalkan waktu istirahat agar tidak menatap komputer sepanjang hari. Ia memperingatkan pemimpin agar tidak menyamakan kerja jarak jauh dengan kemalasan. Sebaliknya, manajer perlu menilai tingkat keterlibatan dan burnout yang dialami oleh anggota tim guna lebih memahami kebutuhan mereka.
Baca juga: 9 Strategi HR Mengatasi Karyawan Burnout
2. Burnout
Jika pemimpin dapat menjadi penyebab karyawan burnout. Sebut saja, membuat setiap tugas terasa seperti darurat, salah mengomunikasikan ekspektasi, atau membebani tim mereka dengan tenggat waktu yang sebenarnya bisa diundur.
Dengan kata lain, jika karyawan burnout karena kondisi tersebut, maka hal itu adalah tanggung jawab pemimpin atau atasan. Namun, pemimpin masih belum mempelajari kondisi tersebut. Sebenarnya, mereka dapat mengarahkan dan mengendalikan kecepatan, volume, dan hasil kerja sampai batas tertentu kepada anggota timnya.
Owenby menambahkan karyawan harus mengetahui apa yang perlu mereka selesaikan dalam seminggu, sedangkan manajer harus turun tangan dalam permintaan apa pun di menit-menit terakhir yang datang dari atasan atau klien. Tugas manajer atau pemimpin bukan menjadikan segala sesuatu mendesak serta menjadikan segala sesuatu kritis.
Jika pemimpin memiliki hubungan baik dengan karyawan, maka ia dapat mengurangi banyak burnout. Anda perlu mengetahui bahwa penyebab burnout adalah upaya memenuhi ekspektasi yang tidak terucapkan.
Berikutnya: 5 Tren HR 2026: Strategi Optimalkan Tenaga Kerja
3. Istirahat
Menikmati waktu istirahat menjadi salah satu kemewahan tersendiri di tengah model kerja jarak jauh atau hibrida. Ironisnya, model kerja tersebut memudahkan pemimpin untuk terus-menerus berhubungan dengan karyawan. Akibatnya, karyawan kesulitan mengambil cuti atau merasakan istirahat yang layak.
Owenby menekankan pemimpin agar tidak mengganggu anggota timnya selama akhir pekan. Jangan pula mengirimkan pesan di luar jam kerja, terlebih malam hari di mana orang-orang akan pergi tidur.
Pandemi COVID-19 mengingatkan dunia korporat bahwa work-life balance yang sehat memang tidak bisa dibantah. Namun, keberhasilan pesan tersebut tergantung pada pemimpin. Bila pemimpinan menindaklanjuti dan mengaplikasikan work-life balance dalam operasi kerja sehari-hari, maka semua orang yang ada di perusahaan memperoleh keseimbangan antara bekerja dan memiliki kehidupan personal.
Namun, belum terlambat untuk mengatasi tantangan pascapandemi bagi pemimpin. Ia dan tim HR dapat menyusun strategi pengelolaan sumber daya dengan hal kecil, seperti mendorong karyawan mengambil cuti tahunan dan menerapkan fleksibilitas kerja.
Sebaliknya, jika pemimpin tidak mengelola volume beban kerja karyawan dengan baik, maka masalah burnout tidak akan pernah hilang. Apa saja tantangan pascapandemi bagi pemimpin di organisasi Anda? Apakah perusahaan sudah menanganinya?

Leave a Reply