Mungkinkah perusahaan menerapkan work-life balance? Sangat mungkin.
Perusahaan dari berbagai negara telah memahami kebutuhan karyawan, terlebih sejak pandemi COVID-19. Salah satu benefit yang mereka tawarkan adalah work-life balance.
Work-life balance tak hanya mengacu pada lokasi kantor atau bekerja di kantor. Kondisi ini juga mengacu lokasi karyawan bekerja.
Jika dilihat lagi, work-life balance adalah cara untuk menggaet kandidat terbaik untuk bekerja ke perusahaan yang memiliki benefit ini.
Work-life Balance, Tanggung Jawab Siapa?
Laman hrzone.com menuliskan bahwa penggunaan teknologi mengaburkan perbedaan antara kehidupan personal dan profesional. Teknologi ini merujuk internet, telepon pintar, hingga piranti lunak berbasis cloud.
Tak jarang karyawan mengalami stress karena ia terdorong–atau didorong oleh atasan–untuk lebih banyak menyelesaikan pekerjaan dalam waktu singkat. Stress adalah ciri umum dari work-life balance yang buruk.
Dalam isu work-life balance, terdapat perdebatan siapa yang bertanggung jawab dalam hal tersebut. Karyawan memiliki tanggung jawab atas diri mereka, termasuk kesehatan fisik dan mental, plus kebahagiaannya.
Namun, perusahaan juga punya tanggung jawab terhadap kesehatan karyawan. Karena karyawan yang stress cenderung kurang produktif dan lebih mungkin untuk membuat kesalahan.
8 Negara Terapkan Work-life Balance

Selama pandemi COVID-19, Adobe dan Twitter telah menerapkan sistem kerja jarak jauh permanen untuk mengakomodasi perubahan situasi.
Sedangkan, Kickstarter, menjalankan empat hari kerja dalam seminggu untuk menguji produktivitas.
Di sisi lain, setengah dari pekerja Amerika Serikat mempertimbangkan untuk beralih pekerjaan untuk mengejar work-life balance lebih baik. Hal itu berdasarkan survei Prudential pada Juni 2021.
Lauren Pasquarella Daley PhD, sebagai Wakil Presiden Women and the Future of Work, mengatakan ekspektasi orang tentang peran pekerjaan dan kehidupan berubah.
Pemimpin perlu mempertimbangkan untuk mengeksplorasi, mengubah, dan mengadaptasi elemen budaya perusahaan guna menciptakan tempat kerja yang lebih adil, fleksibel, dan inklusif saat ini dan dan di masa depan.
Berikut ini, terdapat delapan negara yang telah menerapkan bagaimana pekerjaan dapat hidup berdampingan urusan personal.
#1 Australia
The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) Better Life Index menunjukkan bahwa 13 persen orang Australia bekerja lebih dari 50 jam per minggu, dibandingkan dengan rata-rata global—termasuk orang AS—yang hanya 11 persen.
Bahkan survei Pemerintah Australia pada 2020 memperlihatkan sebanyak 38 persen laki-laki dan 46 persen perempuan sulit mencapai work-life balance. Hampir dua pertiga responden terkadang atau selalu bekerja dari rumah. Kesulitan terbesar mereka adalah menitipkan anak.
Bagaimana work-life balance karyawan di Australia?
Melalui undang-undang federal, pemerintah mengamanatkan kepada karyawan untuk memiliki liburan selama empat minggu setiap tahun.
Karyawan yang telah bekerja selama 10 tahun di perusahaan yang sama akan mendapatkan tambahan 8,67 minggu cuti berbayar, dengan total tiga bulan kalender cuti berbayar.
Selanjutnya, karyawan Australia berhak atas cuti orang tua berbayar hingga 18 minggu, dengan opsi untuk memilih cuti orang tua tambahan yang tidak dibayar hingga satu tahun. Sistem kesehatan universal juga menjamin asuransi kesehatan untuk semua penduduk.
#2 Kanada
Dalam survei perusahaan tenaga kerja ADP Canada dan jajak pendapat Maru Public Opinion, pekerja Kanada menempatkan work-life balance lebih tinggi daripada gaji.
Tak heran, sejak pandemi, 15 persen karyawan mengambil posisi baru, beralih industri, atau meninggalkan pekerja mereka. Dari kelompok tersebut, sebanyak 29 persen membatasi beban kerja dan stress dan 28 persen ingin mencari jam kerja lebih fleksibel.
Selain itu, pemerintah menjamin unpaid leave selama dua minggu, kecuali Saskatchewan, yang mengizinkan tiga minggu. Unpaid leave juga berlaku untuk cuti melahirkan menawarkan hingga 17 minggu dan cuti orang tua menawarkan hingga 63 minggu.
#3 Kolombia
Data OECD menunjukkan bahwa pekerja full-time di Kolombia datang bekerja 12 jam per hari, dibandingkan dengan rata-rata di seluruh dunia 15 jam per hari.
Gagasan work-life balance di negara ini relatif baru. Jadi, pemerintah masih minim penawaran program. Di antaranya, cuti hari libur per tahun selama 15 hari, maternal leave berbayar selama 18 minggu, dan paternal leave berbayar 15 hari.
#4 Belanda
Menurut data OECD, Belanda menduduki sebagai negara terbaik di dunia untuk mengelola work-life balance. Belanda berada pada skala 9,5 dari 10.
Perusahaan di sana memiliki standar kerja 38 jam per minggu dan kerja lembur jarang terjadi. Karyawan di Belanda yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu hanya 0,4 persen.
Pekerja paruh waktu–terutama bagi orang tua dengan anak kecil–menjadi pilihan tetap di negara berjulukan Kincir Angin. Bahkan beberapa serikat pekerja mendorong untuk menstandarkan jam kerja 30 jam seminggu.
Ekosistem work-life balance di Belanda sudah berjalan berkesinambungan. Hal itu dibuktikan dengan sistem penitipan anak yang sangat mendukung kehidupan keluarga dan menawarkan layanan penitipan anak gratis hingga 10 jam per hari untuk lima hari seminggu.
Perempuan juga dapat memanfaatkan kebijakan cuti hamil yang fleksibel yang dapat dimulai dari enam minggu sebelum tanggal jatuh tempo untuk total empat bulan. Pasangannya juga menerima manfaat tambahan hingga enam minggu cuti berbayar.
#5 Prancis
Di Prancis, work-life balance tertanam sangat kuat. Saking kuatnya, dulu, makan siang di meja adalah pelanggaran hukum.
Undang-undang di Prancis memberlakukan right to disconnect. Jadi, organisasi dengan lebih dari 50 karyawan harus melarang karyawan mengirim atau membalas email setelah jam kerja atau saat liburan.
Jika lembur, perusahaan wajib membayar karyawan sebesar 25 hingga 50 persen lebih banyak per jam dari ketentuan.
#6 Rusia
Work-life balance di Rusia adalah prioritas utama. Bahkan undang-undang di sana melarang karyawan bekerja secara berlebihan.
Rusia melarang karyawan bekerja lembur lebih dari empat jam selama dua hari berturut-turut dan mewajibkan perusahaan membayar dua kali lipat setelah dua jam kerja lembur. Rusia juga tidak mengizinkan lembur lebih dari 120 jam per tahun.
Berdasarkan OECD, hanya 0,2 persen karyawan yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu. Sebanyak 58 persen karyawan di bawah 24 tahun merasa telah mencapai work-life balance dan kelompok usia lainnya berkisar sekitar 50 persen.
Untuk mendukung keseimbangan kehidupan kerja, pemerintah memberikan hak karyawan berupa 28 hari sebagai waktu liburan berbayar per tahun dan menawarkan cuti hampir sebulan penuh.
#7 Scandinavia
Studi perusahaan keamanan Kisi pada 2021 memperlihatkan bahwa Helsinki, Oslo, Stockholm, dan Kopenhagen–kota-kota di negara Skandinavia–menduduki peringkat teratas dalam work-life balance.
Di Norwegia, karyawan bekerja rata-rata 1.424 jam per tahun atau 20 persen lebih sedikit jam daripada orang AS. Bahkan produk domestik bruto (PDB) per kapita per tahun Norwegia lebih tinggi dibanding AS.
Undang-Undang di Finlandia memungkinkan karyawan menyesuaikan waktu mulai atau berakhir di tempat kerja hingga tiga jam. Sedangkan, regulasi di Denmark, Swedia, dan Norwegia memberikan liburan wajib berbayar untuk karyawan minimal lima minggu tanpa mengganggu produktivitas kerja.
Kebijakan itu menjadikan Skandinavia sebagai tempat bekerja terbaik dalam penerapan work-life balance.
#8 Jerman
Masih menurut Kisi, Jerman berada di posisi ketujuh dalam studi.
Undang-undang di Jerman mengatur ketat jam kerja, rata-rata karyawan bekerja antara 36 dan 40 jam per minggu. Waktu kerja mingguan dibatasi hingga 48 jam. Jadi, karyawan bekerja bekerja tujuh atau delapan jam sehari, dengan istirahat makan siang antara 30 menit dan satu jam.
Perjanjian kerja bersama (PKB) memungkinkan 80 persen karyawan untuk mengatur jumlah jam kerja per minggu. Sedangkan, semua orang yang berpenghasilan akan menerima asuransi perawatan wajib dari negara.
Work-life Balance Bisa Menjadi Magnet Bagi Kandidat

Work-life balance bukan sekadar gimmick atau mengikuti tren saja. Esensi keseimbangan kehidupan kerja lebih dari itu.
Jika perusahaan ingin menarik kandidat terbaik sekaligus mempertahankan karyawan berprestasi, sediakan magnetnya. Bentuk magnet berupa penerapan work-life balance. Misalnya, fleksibilitas jam kerja dan lingkungan kerja yang sehat.
Tim HR dapat menerapkan work-life balance dengan cara:
Rancang benefit
Ada beragam cara merancang benefit bagi karyawan. Benefit tak melulu soal uang.
Misalnya, perusahaan memberikan jam kerja fleksibel, opsi WFH atau WFA, menyediakan makan siang di kantor, dan lainnya.
Manfaatkan employer branding
Jika Anda telah merampungkan benefit perusahaan, selanjutnya, manfaatkan employer branding.
Promosi benefit perusahaan melalui media sosial berupa konten foto atau video. Hal itu memungkinkan kandidat mempelajari budaya perusahaan dan memutuskan akan melamar ke perusahaan Anda atau tidak.
Tingkatkan employee engagement
Tim HR perlu meningkatkan employee engagement untuk kehidupan profesional mereka. Dorong manajer untuk berdiskusi dengan anggota timnya agar mereka memiliki work-life balance dan menginspirasi rekan kerja lainnya.
Perhatikan job ads
Ketika mengunggah job ads, perhatikan deskripsi pekerjaan dan persyaratannya. Anda juga bisa menuliskan benefit yang akan diterima oleh kandidat jika menjadi karyawan di perusahaan.
Penutup
Menerapkan work-life balance tidaklah mudah. Perusahaan memerlukan dukungan manajemen, karyawan, stakeholder, pemerintah, pihak lain, sehingga membentuk ekosistem yang mendukung keseimbangan antara urusan pekerjaan dan personal.
Sebagai perekrut, Anda tidak ingin melihat karyawan tidak bahagia lalu resign dalam hitungan bulan karena pekerjaan sangat menyita kehidupan pribadinya.
Oleh karena itu, Anda bersama tim HR dan manajemen dapat membangun strategi rekrutmen untuk keberlangsungan perusahaan.
Leave a Reply