Work-life Balance 01 HRPods

Menerapkan Work-life Balance Kepada Karyawan

Di kalangan karywan, work-life balance seolah menjadi tujuan sakral yang mendefinisikan arti keseimbangan dan kesempurnaan aktualisasi diri.

Berdedikasi penuh, tetapi tak lupa kehidupan pribadi. Mementingkan rumah, tetapi bertanggung jawab terhadap pekerjaan.

Perbincangan tentang topik ini tidak lepas dari kebiasaan di lingkungan kerja—yang sudah jadi rahasia umum—yang menuntut karyawan untuk mendedikasikan 100% hidup mereka untuk perusahaan.

Namun perusahaan masih memerlukan mereka agar setiap peran berjalan efektif. Untuk merespons kondisi ini, perusahaan dapat menerapkan work-life balance.

Memahami Work-life Balance

Secara sederhana, work-life balance adalah tingkat prioritas antara aktivitas (kehidupan) pribadi dan profesional dalam kehidupan seseorang. Ini juga tentang seberapa banyak seseorang membawa pekerjaan pulang ke rumah.

Konsep work-life balance tidak muncul ke permukaan begitu saja. Ada sejarah panjang lintas generasi yang berkaitan dengan kondisi sosioekonomi di setiap generasi.

Generasi baby boomer, misalnya, hidup pada masa sulit di tengah perang dan situasi politik serta ekonomi yang tidak stabil. Mencari sumber penghidupan amatlah sulit pada masa itu.

Barangkali mereka tidak memikirkan jenjang karir, apalagi memiliki work-life balance. Mereka tidak terlalu memikirkan kesehatan psikis, sebab kondisi ekonomi saat itu tidak stabil.

Berbeda dengan generasi yang lahir sesudahnya, yakni generasi x. Mereka lahir dan tumbuh besar menyaksikan orang tua baby boomer bekerja keras dengan jam kantor yang panjang.

Generasi x lebih mengerti work-life balance, karena mereka secara langsung merasakan akibat pola kerja yang buruk dari orang tuanya.

Generasi milenial lebih melek kesehatan psikis dan fisik. Mereka juga mengerti bagaimana menciptakan lingkungan sehat dan aman di perusahaan.

Oleh karena itu, milenial memaknai work-life balance lebih sakral dibanding generasi-generasi sebelumnya.

Mengapa Work-life Balance Penting?

Terkadang work-life balance terdengar mengerikan, khususnya bagi kalangan manajer yang berasal dari generasi x.

Pemilik usaha tentu menginginkan profit sebesar-besarnya, bahkan kalau bisa, dengan kerugian sekecil-kecilnya.

Mereka sering kali menuntut standar kinerja yang kelewat tinggi kepada karyawan. Apalagi jika mereka berasal dari generasi terdahulu, yang menomorsatukan pekerjaan di atas segalanya.

Jika ditelisik lebih dalam, lingkungan kerja yang penuh tekanan, jam kerja yang terlalu panjang, justru akan berisiko tinggi dan menghasilkan kinerja yang tidak berkelanjutan.

Menerapkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi membawa manfaat besar bagi perusahaan.

Karyawan akan merasa lebih bahagia, sehingga mereka bekerja lebih produktif. Produktivitas mereka pun terjaga dalam jangka waktu panjang.

Work-life balance menghindarkan karyawan dari rasa lelah kerja yang ekstrem yang sudah pasti akan berdampak buruk pada kinerjanya.

Selain itu, work-life balance menjaga tingkat kesejahteraan karyawan, baik secara mental maupun fisik.

Perusahaan pasti tidak ingin, kan, menjumpai karyawan burnout, lalu jatuh sakit dan mengancam nyawanya?

Faktor Yang Mempengaruhi Work-life Balance

Ada banyak hal yang mempengaruhi level work-life balance yang diraih seseorang di lingkungan kerja. Berikut adalah tiga faktor utama yang mesti Anda perhatikan:

Menghubungi karyawan di luar jam kerja

Ini adalah hal yang sering dikeluhkan oleh karyawan. Mereka umumnya masih dapat memaklumi jika ada hal-hal yang tak mungkin diabaikan atau ditunda.

Namun, sering kali pesan singkat atau telepon di luar jam kerja berujung menuntut karyawan untuk melakukan pekerjaan tambahan saat itu juga.

Karyawan mau tak mau menurut dan terpaksa menghabiskan waktu yang harus digunakannya untuk beristirahat. Bagaimana jika hal itu terjadi berkali-kali?

Management issue

Pekerjaan yang digarap di luar jam kerja adalah indikasi masalah dalam manajemen perusahaan.

Ada lini yang kurang efektif dan efisien dalam memanfaatkan waktu dan sumber daya. Misalnya, salah satu divisi mengakibatkan loss sehingga mengakibatkan divisi lain harus bekerja lagi.

Jarak rumah dan kantor jauh

Jarak tempuh antara rumah ke kantor yang berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik karyawan. Awalnya, karyawan mampu berkompromi dengan jarak.

Namun, jika seseorang sudah letih berkepanjangan, pada akhirnya akan menyerah juga.

Di samping ketiga faktor itu, ada faktor lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh perusahaan:

  • Aturan kerja yang terlalu ketat
  • Beban kerja yang terlampau besar
  • Lingkungan kerja yang mengancam, tidak ramah
  • Tekanan deadline yang berlebihan
  • Keluarga karyawan yang kurang mendukung pekerjaan karyawan
  • Stigma kultural
  • Standar patriarkis

Work-life Balance Vs. Work-life Integrity

Jika work-life balance menghendaki keseimbangan antara kehidupan profesional dan personal, maka work-life integrity adalah peleburan keduanya.

Work-life integrity diartikan sebagai peleburan antara pekerjaan dan urusan personal,  tetapi memungkinkan seseorang berkompromi terhadap satu sama lain. Sedangkan, work-life balance cenderung memisahkan keduanya.

Istilah ini mungkin belum dikenal luas. Namun, pertumbuhan perusahaan yang menerapkan hybrid dan full-remote working mendorong topik ini muncul ke permukaan.

Mengapa pergeseran standar ini berubah?

Rebecca Mannis, spesialis pembelajaran di Ivy Prep Learning Center, berpendapat bahwa keseimbangan hampir mustahil tercapai sempurna dalam dunia kerja yang serba jarak jauh.

“Keseimbangan artinya kesempurnaan dan itu tidak realistis. Maka dari itu jika work-life balance tidak tercapai, ada rasa frustasi dan seseorang bisa merasa gagal,” katanya.

Dengan setting lingkungan kerja yang saat ini mulai bergerak dari mobilitas tinggi menuju fleksibilitas tinggi, rasa-rasanya hampir sulit melihat batas jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Oleh karena itu, wacana work-life integrity mulai muncul. Ini adalah upaya menemukan titik temu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sehingga seseorang dapat menentukan kapan mengerjakan tugas ekstra.

Strategi Untuk Mencapai Work-life Balance

Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh tim HR untuk memacu work-life balance karyawan.

Sebagian besar berkaitan dengan kesempatan karyawan memiliki istirahat melalui jatah libur yang tersedia di kantor.

1) Buat batasan

Tim HR dapat membagikan informasi kepada team leader dan anggotanya untuk membuat batasan yang jelas. Misalnya, waktu merespons pekerjaan, menjawab pesan melalui email atau ponsel, dan waktu untuk fokus pada pekerjaan.

2) Bimbing karyawan untuk mencapai target

Anda dapat membimbing karyawan untuk memasang target dan cara mencapainya. Mintalah mereka untuk disiplin pada hal tersebut.

Hal itu membuat karyawan berkomitmen dengan targetnya dan manajer dapat memastikan alur kerja yang efektif dan terhindar dari potensi kerugian.

3) Manfaatkan ketersediaan waktu libur

Arahkan karyawan untuk mengambil hak cutinya secara berkala. Tak jarang, justru karyawan yang sering lupa mengambil cuti hingga cuti tersebut hangus.

Biarkan jika karyawan mengambil waktu libur di luar jatah cuti berbayar, selama dia pekerjaan berjalan lancar.

4) Remote working

Pertimbangkan opsi remote working, termasuk working from home (WFH), bagi karyawan yang tidak membutuhkan kehadiran fisik di tempat kerja. Namun, pastikan mereka melakukan kewajiban yang harus dijalankan.

5) Sediakan ruang serba guna

Sediakan ruang serba guna agar karyawan tidak bosan bekerja di meja kerjanya. Suasana yang sedikit berbeda dapat mempengaruhi produktivitas.

Jika memungkinkan, buatlah common room yang bisa digunakan secara umum untuk fungsi apa pun.

6) Dorong karyawan untuk mengatur waktu

Menerapkan time management yang baik memungkinkan karyawan bekerja secara efektif, sehingga mereka dapat pulang tanpa membawa pekerjaan ke rumah.

7) Mencari feedback dari karyawan

Anda dapat menyebar kuesioner tentang ekspektasi work-life balance kepada karyawan untuk mengetahui feedback. Misalnya, apa yang mereka inginkan dan apa yang harus diubah.

Penutup

Bagi sebagian orang, work-life balance terdengar tidak masuk akal. Namun perlu diingat, ketahanan fisik dan mental seseorang berbeda.

Faktor yang mempengaruhi stres pada tiap individu pun berbeda. Ekspektasi seorang karyawan pada work-life balance pun bakal berbeda.

Perusahaan perlu mengingat bahwa karyawan bukan mesin. Jika mengabaikan kesejahteraan karyawan, perusahaan menempatkan keberlanjutan kegiatan bisnis dalam risiko.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *