Apakah budaya empati terhadap kinerja karyawan akan berpangruh kepada bisnis? Berdasarkan survei EY pada 2021 melaporkan bahwa sikap empati dalam kepemimpinan berkontribusi terhadap pertumbuhan kinerja perusahaan. Dari 1,000 pekerja Amerika Serikat yang disurvei, 88% responden setuju dengan empati yang membuat kepemimpinan lebih efektif dan 85% percaya kepemimpinan yang berempati dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawan.
Sebaliknya, perusahaan yang tidak memiliki empati dan compassion mengakibatkan 30% lebih sedikit kreativitas, penurunan moral dan kinerja tim dan pelanggan yang tidak puas. Hal tersebut telah diteliti oleh Christine Porath dari Universitas Georgetown.
Hasil penelitian di atas menunjukkan pemimpin berbagai tingkatan perlu menguasai keterampilan berempati untuk memberikan dampak positif terhadap kinerja dan kesejahteraan anggota timnya.
Menumbuhkan Empati Terhadap Kinerja Karyawan
Empati bukan sekadar keterampilan nonteknis untuk berbicara lembut kepada anggota tim, tetapi ini adalah sikap seseorang untuk memahami orang lain. Meski demikian, berempati bukan berarti mengabaikan kinerja dan kebijakan perusahaan.
Ada yang mengaitkan empati merupakan bawaan sejak kecil. Peneliti University of Virginia menemukan bahwa empati diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan itu dimulai dari ibu. Namun, empati juga dapat dipelajari dan dipraktikkan oleh semua orang. Dalam dunia profesional, manajer yang berempati mampu mempertimbangkan perspektif anggota tim dan membantu mereka mencapai kesuksesan lebih signifikan.
Empati = peningkatan kinerja
“Penelitian dari Wharton School at the University of Pennsylvania oleh Sigal Barsade terhadap lebih dari 3.200 responden di 17 organisasi menemukan ada korelasi sangat kuat antara emotional culture, yaitu bagaimana karyawan dapat mengekspresikan perasaan caring, compassion, dan empathetic di tempat kerja dengan kinerja individu maupun perusahaan,” ucap Mario Montino, Director BTS Indonesia, kepada HRPods, Kamis (15/08), di Jakarta.
Kondisi itu dapat menciptakan kepercayaan di lingkungan kerja antar sesama karyawan, juga perusahaan dengan karyawan sehingga meningkatkan produktivitas. Dari sisi karyawan, mereka akan merasa nyaman, lebih puas dalam bekerja, berkomitmen, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan.
Empati menjembatani transformasi
Selain peningkatan kinerja, empati dapat menjembatani transformasi. Pria yang berpengalaman dalam implementasi strategy management framework menjelaskan bahwa transformasi atau change management merupakan hal yang kompleks, karena perubahan melibatkan jalur segitiga, yakni strategy, people, dan culture.
Tiga hal tersebut harus berjalan selaras. Perubahan dimulai dari visi dan misi perusahaan yang diturunkan menjadi strategi, lalu diterjemahkan ke dalam inisiatif, program, atau proyek. Namun, pelaksanaan strategi harus sejalan dengan budaya perusahaan.
Di sisi people, pemimpin perlu menurunkan kemampuannya ke tingkat pemimpin berikutnya, kemudian mereka menurunkan lagi ke tingkat di bawah sehingga terjadi transfer kapabilitas secara bertahap dari atas ke bawah.
“Langkah itu terjadi ketika pemimpin nomor satu punya visi untuk berubah. Dia menjadi kapten komando yang memastikan semua proses berjalan dengan baik. Sebuah perubahan tidak mudah dimulai dari tengah ke atas atau bawah ke atas. Kalaupun bisa berubah, prosesnya tidak cepat,” jelas alumnus Universitas Katolik Parahyangan tersebut.
3 Hal Pendukung Budaya Empati Dalam Pengelolaan Karyawan

Jika perusahaan ingin memiliki budaya empati dalam pengelolaan karyawan, setidaknya manajemen mulai menerapkan tiga hal berikut ini:
Jangan menghakimi
Mario berpendapat bahwa manajemen organisasi perlu menanamkan kepada semua tingkat pemimpin untuk tidak menghakimi anggota timnya. Misalnya, manajer melontarkan kalimat, “Siapa yang menyebabkan kesalahan ini?” atau “Mengapa mengerjakan hal seperti ini saja tidak becus?” kepada anggotanya yang melakukan kesalahan.
Alih-alih mengintimidasi, sebaiknya manajer berempati dengan menanyakan tentang situasi dan kondisi di lapangan serta apa yang telah dilakukan oleh karyawan ketika terjadi kesalahan, lalu evaluasi bersama-sama. Manajer tak perlu menyalahkan kejadian di masa lampau yang tidak bisa diubah. Ia perlu fokus terhadap pembelajaran dari kesalahan tersebut dan memastikan hal itu tidak terjadi lagi di masa depan.
Berdialog
Manajemen perlu mendorong pemimpin untuk membangun performance discussion atau berdialog kepada karyawan. Misalnya, bertanya tentang aspirasi karyawan, kendala yang dihadapi, cara mereka menyelesaikan masalah, atau hal-hal yang membuatnya bisa meraih target. Dialog antara mereka dapat membangun kepercayaan, saling memberikan umpan balik, serta menganalisis akar masalah berlandaskan sikap empati dan tetap profesional.
Role model
Pemimpin perlu menjadi role model bagi pemimpin di bawahnya dan semua karyawan. Langkah itu membantu karyawan untuk melihat contoh nyata sembari melatih empati pada diri sendiri. Mario menambahkan, “Pemimpin tidak bisa minta karyawan harus berempati, tapi dia sendiri tidak berempati.”
Mendengarkan Dan Bertanya
Untuk menumbuhkan keterampilan berempati, pemimpin memerlukan dua komponen, yakni mendengarkan dan bertanya. Istilah lain dari hal tersebut adalah active listening. Meski terkesan sederhana, tetapi tidak semua pemimpin dapat melakukannya dengan tepat.
Ketika karyawan berbicara, manajer perlu mendengarkan dengan memastikan terjadi kontak mata dan tidak memotong pembicaraan. Jika karyawan telah selesai bicara, ia dapat bertanya untuk memahami tanpa menghakimi. Caranya, gunakan kalimat tanya yang membuat karyawan berpikir lebih mendalam dan terbuka. Dengan begitu, karyawan merasa diperhatikan dan didengarkan oleh atasannya.
Contoh kasus
General Manager (GM) sebuah perusahaan minuman kemasan–yang biasa dinikmati dalam kondisi dingin–bertanya kepada Sales Representative (SR) tentang kondisi yang dialaminya di lapangan sehingga ia tidak memenuhi target periode ini. SR melaporkan bahwa penjualan menurun karena mereka sedang menghadapi musim hujan, akibatnya pembeli tidak membeli minuman dingin. GM pun menerima alasan SR.
Dalam kesempatan lain, GM meminta laporan curah hujan dalam periode yang sama dengan penurunan penjualan dan periode sebelumnya. Hasilnya, periode tersebut memiliki curah hujan lebih rendah dibanding periode sebelumnya. GM menunjukkan data itu kepada SR sebagai bahan dialog.
Setelah analisis lebih lanjut, penyebab SR tidak mencapai target penjualan adalah ia kurang melakukan sales visit dan promosi ke toko-toko. Pemilik toko lebih banyak memajang dan mempromosikan minuman kemasan dari SR jenama lain yang rajin mengunjungi tokonya. Dalam hal ini, memiliki hubungan baik antara SR dan pemilik toko sangat menentukan.
Dari contoh kasus di atas, kita dapat memahami bahwa pemimpin harus berbicara berdasarkan data dan menghindari asumsi dan/atau tidak menghakimi anggota timnya. Selain hal itu kurang mencerminkan sikap empati, juga tidak menawarkan solusi untuk kemajuan karyawan.
Empati Tidak Berarti Mengabaikan Kesalahan
Walaupun perusahaan telah melatih manajer bersikap empati, bukan berarti mereka mengabaikan kesalahan yang diperbuat oleh anggota tim. Ketika empati diterjemahkan menjadi hubungan persahabatan, hal itu menyebabkan garis batasan blurry atau bias antara sisi profesional dan personal.
Contohnya
Manajer sungkan menegur anggota tim yang terlambat masuk kantor dalam beberapa hari, karena hubungan mereka cukup dekat. Kondisi serba tidak enak tersebut menyebabkan lingkungan kerja tidak profesional.
Untuk mengantisipasi situasi tersebut, perusahaan harus mendefinisikan budaya empati, apa tujuan berempati, bagaimana berempati ke rekan kerja dan pihak ketiga dalam situasi profesional, hingga bagaimana berempati saat menjalankan tugas dan mendukung kinerja. Ini bertujuan untuk memastikan ada kejelasan bagi pemimpin maupun karyawan.
“Empati di ranah profesional bisa dimulai dari yang kecil dulu, yaitu belajar mendengarkan dan memahami orang lain. Mempelajari empati itu tidak semudah seperti yang terlihat, namun jika kita bisa berempati di tempat kerja berpotensi menghasilkan high performance, loyalty, and caring,” tutup Mario.
Leave a Reply