Simulation Culture-Mario Montino HRPods 01

BTS: Pendekatan Kepemimpinan Tingkatkan Kontribusi Karyawan

Pendekatan kepemimpinan paternalistic yang umum di Indonesia menjadi salah satu tantangan saat organisasi perlu berinovasi. Pemimpin dominan dapat merasa ia yang paling mengetahui segala hal, melakukan micromanagement, dan cenderung lebih banyak mengkritik orang lain.

Imbasnya, karyawan yang potensial merasa tidak bisa berkembang, tidak berinisiatif, dan hanya mengikuti ide pimpinan. Bahkan ini berujung dengan pengunduran dirinya dari organisasi. Jika pemimpin tidak berubah, organisasi akan mengalami tingkat turnover tinggi sehingga mengganggu produktivitas.

Sesi interview kali ini, HRPods berkesempatan membahas tantangan dan pendekatan kepemimpinan bersama Mario Montino, Director BTS Indonesia, firma yang kerap menangani workshop kepemimpinan berbasis simulasi, pada Kamis (02/05/24) di Pondok Indah Office Tower 3, Jakarta Selatan.

Tantangan Kepemimpinan Di Indonesia

Pemimpin terlalu dominan

“Hasil riset kepemimpinan global yang mencakup Asia Tenggara serta hasil observasi BTS di Indonesia, salah satu tantangan leadership di Indonesia adalah peran pemimpin yang terlalu dominan. Ini ditunjukkan dengan gaya kepemimpinan yang paternalistic, baik di rumah maupun di kantor, di mana pemimpin mendominasi anggota timnya dan si pemimpin dianggap segalanya oleh karyawan.

Hal itu dapat dilihat ketika perusahaan harus mengambil keputusan dan keputusan diserahkan kepada pemimpin. Sementara karyawan hanya menunggu instruksi atau arahan pemimpin.

Kurang memahami perspektif coaching

Kami melihat bahwa tidak sedikit pemimpin tim yang kurang melakukan coaching secara tepat kepada coachee atau karyawannya. Bahkan ada pemimpin yang menganggap bahwa coaching adalah proses ‘koreksi’ atas kesalahan atau ‘mendikte’ apa yang harus dilakukan ke anggota tim.

Konsekuensinya, karyawan menjadi tidak berkembang karena kurang memiliki kesempatan untuk berpikir dan ownership untuk pekerjaan dan goal-nya. Terkadang, ia tidak melihat keselarasan antara purpose pribadi dengan misi perusahaan.

Hasilnya, karyawan terbiasa diberitahu oleh atasannya tentang apa yang harus dilakukan. Ia juga langsung mengeskalasi semua masalah ke atasan tanpa mempunyai solusi terlebih dahulu. Di situasi ini, kedua belah pihak belum memahami esensi sesungguhnya dari coaching.

Kondisi tersebut memunculkan superman syndrome, di mana pemimpin dianggap sebagai manusia serba bisa dan paling mengetahui segala sesuatu.

Sementara itu, karyawan hanya mengeksekusi pekerjaan sesuai instruksi. Padahal, coaching perlu menjadi budaya perusahaan, karena dapat mengembangkan kemampuan karyawan ke arah tepat serta beradaptasi menghadapi perubahan bisnis pada masa mendatang.

Oleh karena itu, pemimpin perlu memiliki kemampuan bertanya yang membuat karyawan berpikir tentang tujuan personal serta profesional, termasuk meningkatkan kinerjanya. Atasan perlu memberikan ruang kepada karyawan untuk bereksperimen dan belajar dari kesalahan agar dapat berkembang. Seiring waktu berjalan, mereka akan mengeluarkan potensi terbaik yang mendorong implementasi strategi bisnis secara efektif.

Kurang memberikan feedback positif

Kami juga mengamati bahwa di sini sebagian besar pemimpin kurang membudayakan untuk meminta feedback serta memberikan feedback positif.

Saat karyawan menunjukkan kinerja bagus, atasan menganggap sudah seharusnya mereka begitu. Namun, ketika kinerjanya menurun, ia menerima kritik atau feedback negatif. Hal ini sangat berdampak terhadap motivasi karyawan.

Pemimpin yang memberikan feedback positif kepada karyawan dapat meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri. Begitu juga dengan atasan yang meminta feedback dari anggota timnya akan menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis.

Setelah kedua hal itu dilakukan dalam beberapa kesempatan berbeda, barulah feedback konstruktif dapat diterima oleh karyawan dan menghasilkan perbaikan yang diharapkan oleh perusahaan.

Jangan sampai kita kurang memberikan feedback positif ke karyawan atau rekan kerja.

Hasil riset Harvard Business Review menunjukkan bahwa rasio ideal adalah 6:1 untuk pemberian feedback positif dibandingkan feedback konstruktif untuk mendorong anggota tim ke tingkat high performing. Mengapa rasio positif perlu lebih besar? Karena dunia profesional mempunyai banyak tekanan yang kompleks, target, tantangan, serta dinamika situasi baik dari internal maupun eksternal.

HR Specialist 02 HRPods
Ilustrasi

Pendekatan Kepemimpinan Harus Optimalkan Potensi Karyawan

Tipe pemimpin multipliers dan diminishers

Kembali ke tantangan kepemimpinan di Indonesia yang terlalu dominan sehingga membuat potensi dan kontribusi karyawan menjadi kurang optimal. Terdapat hal menarik yang terungkap dalam buku Multipliers: How the Best Leaders Make Everyone Smarter yang ditulis oleh Liz Wiseman dengan Greg McKeown.

Kami menyebut pemimpin diminishers, yaitu ia yang men-diminish anggota tim atau karyawannya, sehingga mereka tidak mengeluarkan potensi secara optimal.

Namun, ada pemimpin yang mampu mengoptimalkan potensi karyawan agar tumbuh dan berkontribusi berlipat ganda untuk organisasi. Pemimpin ini kami sebut multipliers.

Pemimpin multipliers akan bertanya kepada karyawan untuk mendapatkan ide untuk mengatasi masalah agar bisnis terus berkembang. Ini bisa terjadi, ketika ide strategi bisnis belum dipikirkan dan dibuat oleh pemimpin. Upaya tersebut membuat karyawan berkontribusi optimal dan memberikan kinerja terbaik, sehingga perusahaan dapat bertahan dalam situasi turbulensi atau tidak menentu, karena pemimpin membutuhkan inteligensi karyawan secara kolektif.

Memang, dalam beberapa situasi kritis, perusahaan perlu pemimpin dominan dalam pengambilan keputusan yang cepat. Di luar itu, seperti dalam pekerjaan sehari-hari dan situasi yang tidak kritis, pemimpin perlu mendorong karyawan untuk embrace new mindset, menggunakan critical thinking, problem solving, serta keterampilan lainnya.

Dampak positif pemimpin multipliers

Riset Liz Wiseman menunjukkan bahwa pemimpin multipliers mendapatkan dua kali lipat kontribusi dari anggota timnya dibandingkan dengan pemimpin diminishers. Jadi, perusahaan lebih efisien karena tidak harus mempekerjakan dua kali lipat jumlah karyawan untuk melipatgandakan kontribusi.

Dari pengamatan BTS terhadap klien di Asia, peningkatan kontribusi bisa menjadi tiga kali lipat. Kemungkinan hal ini disebabkan karena karyawan di perusahaan Asia cenderung lebih patuh dan tidak menentang pemimpin, sehingga ketika disentuh dengan cara berbeda, potensi yang keluar jauh lebih besar.

Pemimpin multipliers terbiasa menggunakan metode coaching, mentoring, memberikan challenge yang men-stretch kemampuan, memberikan feedback dengan proporsi yang tepat antara positif dan konstruktif, serta menciptakan kultur yang aman secara psikologis kepada karyawan.

Untuk memahami dampak besar kepemimpinan terhadap bisnis, kita bisa mengobservasi sejumlah private equity firm yang membeli perusahaan ‘bermasalah’.

Umumnya, hal pertama yang dilakukan oleh mereka adalah mengganti pimpinan perusahaan tersebut. Kemudian, pimpinan yang baru akan turun berkomunikasi dengan karyawan untuk mendapat masukan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Tiga atau empat tahun kemudian private equity firm dapat menjual perusahaan tersebut dengan kinerja dan valuasi yang meningkat.

Pendekatan di atas menunjukkan bahwa agar perusahaan dapat turnaround, berinovasi, dan meningkatkan kinerja, memerlukan different way of leading.

Kepemimpinan multipliers bisa melipatgandakan kontribusi seluruh komponen perusahaan dan membudayakan pendekatan simulasi, sehingga pemimpin dapat bereksperimen dan belajar dari kesalahan. Tidak ada waktu yang lebih tepat untuk memulai kultur multipliers di organisasi selain saat ini. Langkah tersebut tidak hanya untuk kemajuan organisasi, juga untuk kemajuan Indonesia secara keseluruhan.”


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *