Idealnya, perusahaan memerlukan manajemen krisis untuk merespons kondisi genting. Jika tidak, mereka akan mempertaruhkan reputasi organisasi.
Tak sedikit perusahaan yang menganggap krisis adalah musuh, tetapi bagi Bob T Ananta, Vice President Director PT BSI Tbk., krisis dianggap sebagai opportunity atau peluang. Hal itu ia sampaikan dalam gelaran IHRS Ke-13, pada Senin (19/06/2023), di Bali Nusa Dua Convention Center.
Manajemen Krisis Dan Pembentukan Perusahaan Baru
Bagi alumni Universitas Gajah Mada, terdapat dua jenis krisis. Pertama, krisis sebagai tren. Kedua, krisis sebagai peluang.
“Let say, kalau kita mendefinisikan krisis sebagai waktu yang sulit untuk mengambil keputusan. Itu konteksnya sebagai tren. Kalau dilihat sebagai opportunity, krisis itu opportunity untuk start something,” ujar Bob.
Bank Syariah Indonesia (BSI), lanjutnya, sudah akrab dengan krisis. Proses pembentukan BSI (dari BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri) terjadi di saat pandemi COVID-19, di mana hampir seluruh koordinasi penggabungan tiga bank tersebut dilakukan secara work from home (WFH).
“Itu bagian krisis bagaimana kita mengelola opportunity during pandemic, karena kami punya tiga legacy bank.”
Krisis lain yang dihadapi oleh BSI adalah kebocoran data yang terjadi pada pertengahan Mei lalu. Ransomware Lockbit menyebarkan 15 juta data karyawan dan nasabah, karena permintaannya tidak dipenuhi oleh BSI. Namun, Bob menjelaskan bahwa kejadian itu adalah cara melihat kinerja karyawan dalam menyelesaikan krisis.
“Ini exercise kami sebagai teamwork untuk handling and facing crisis. Beberapa saat lalu, ada predicted crisis, jadi dalam konteks ini pola kerja teman-teman sudah terlatih. Kembali lagi, key success factor perusahaan adalah people and technology.”
Perusahaan menggunakan teknologi sekaligus mengandalkan karyawan (people) untuk menangani masalah atau krisis.
Artikel terkait: Alasan Perusahaan Perlu Manajemen Krisis
Performance Culture BSI
Selain manajemen krisis, Bob juga membahas tentang fokus BSI terhadap performance culture. Hal ini bisa diterapkan dengan strong leadership. Kondisi ini mendorong pemimpin untuk memberikan tugas kepada anggota tim dan menanamkan mereka untuk melihat kinerja serta peluang perusahaan.
Bob menggambarkan bahwa penduduk muslim di Indonesia sebesar 87%, tetapi market share syariah cuma 7%. Sedangkan di Malaysia, penduduk muslim sebanyak 61% dengan market share syariah 37% atau setengah dari populasi adalah pengguna layanan syariah.
“Apakah kita mau merebut pasar itu? Tidak. Tapi itu opportunity which is praktik bank syariah belum cukup common, literate, and inclusive kepada masyarakat.”
Dari hal itu, BSI membangun persepsi, branding, dan profil sebagai bank yang inklusif dan universal. Bank dapat memberikan layanan ke semua pelanggan, tidak hanya layanan berbasis religi.
Baca juga: 8 Strategi Mengoptimalkan Employer Branding
Nilai-nilai BSI Dan Peran Kepemimpinan

Bob menegaskan, karyawan BSI harus memiliki change and growth mindset. Itu sejalan dengan singkatan BSI yang dicetuskan oleh Bob, yakni:
- B: be niat
Karyawan mempunyai noble purposes guna mendorong peran dan tugas kerjanya. Misalnya, apakah ia bekerja untuk mendapatkan gaji atau sebagai pejuang syariah. - S: syukur
Karyawan perlu untuk mensyukuri atas apa yang telah ia capai, tetapi jangan melupakan target. “Kalau saya tanya bagimana targetnya? Ada yang bilang, “Alhamdulillah tercapai 97%.” Itu artinya, belom tercapai, dong.” - I: ikhtiar
Ikhtiar akan mendorong karyawan untuk mencapai kinerja lebih baik lagi. Mereka memiliki wawasan untuk mengadopsi regrowth mindset.
“Di poin itu ada agility, inovation, and creativity, apalagi kalo kita bicara industri perbankan ada geseran pola kerja and customer behavior. Kalau tidak punya growth mindset dari konteks ikhtiar, ya kita akan lewat. Jadi, kita harus lompat lagi, lompat lagi.”
Keberhasilan nilai-nilai tersebut tak lepas dari leadership. Bob mempromosikan peran pemimpin agar mampu melihat, meresapi, memiliki referensi, menganalisis beragam kasus, hingga menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi oleh tim.
Selain itu, pemimpin juga harus pandai memetakan kelebihan karyawan, sehingga ia dapat mendelegasikan tugas ke orang yang tepat dan pada waktu tepat pula.
“Kepemimpinan yang efektif nata, nuntun, dan nagih. Jangan hanya nata dan nagih saja. Lakukan itu dengan optimis, komunikatif, dan empati. Karena kita harus kembali ke triangle mission, yaitu customer, investor, dan people,” Bob mengakhiri pembicaraan.
Leave a Reply