Bonus demografi hanya akan menjadi masalah ketenagakerjaan, jika tidak tersedia lapangan pekerjaan dan/atau tak ada kebijakan yang memihak pencari kerja. Pasalnya, terdapat ketimpangan antara jumlah pencari kerja dengan permintaan sumber daya manusia di Indonesia. Terlebih, lanskap ketenagakerjaan di Indonesia memiliki kompleksitas yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, terutama tindakan nyata dari pemerintah.
Tingkat Pengangguran Turun ke Level Terendah
Dalam pidato kenegaraan pada Jumat (15/08) di Gedung MPR-DPR RI, Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa tingkat pengangguran nasional berhasil turun ke level terendah sejak krisis 1998. Apakah benar demikian?
Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 sebesar 4,76% atau lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya tercatat 4,82%. Di sisi lain, angkatan kerja Indonesia pada Februari 2025 sebanyak 153,05 juta orang atau bertambah 3,67 juta orang dibandingkan tahun lalu. Orang yang bekerja menjadi 145,77 juta orang (bertambah 3,59 juta orang) dan tingkat pengangguran sebesar 7,28 juta orang (bertambah 7,20 juta orang).
Pada Agustus 1998, TPT mencatat 5,46% dan meningkat drastis sebesar 11,24% pada November 2005. Sejak 2010-an, angka TPT sekitar lima sampai enam persen. Namun, TPT menembus 6,26% pada Februari 2021 karena dampak pandemi COVID-19, tetapi 2022 hingga kini TPT mengalami penurunan.
Menurut Qisha Quarina, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, penurunan TPT tidak selalu mengindikasikan perbaikan pada pasar tenaga kerja. Hal itu terjadi karena jumlah penduduk yang bekerja bertambah lebih cepat daripada jumlah penganggur. Artinya, meski TPT menurun tetapi total jumlah orang yang menganggur tetap bertambah.
Qisha menekankan bahwa data statistik dapat menimbulkan kesan yang menyesatkan jika tidak dipahami secara utuh. Masalah ketenagakerjaan nasional bukan hanya tentang pengangguran, juga pekerjaan layak yang patut menjadi perhatian bersama.
Artikel selanjutnya: 4 Strategi Bisnis Hadapi Kondisi Politik Tak Stabil
Apa Saja Masalah Ketenagakerjaan yang Kita Hadapi?
Peningkatan jumlah pengangguran terbuka ialah salah satu dampak rentetan masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Data BPS memperlihatkan bahwa TPT tertinggi berasal dari lulusan SMK sebesar 8% disusul oleh lulusan SMA, D4–S3, D1–D3, SMP, dan SD ke bawah dengan persentase masing-masing 6,35%, 6,23%, 4,84%, 4,35%, dan 2,32%.
Ini menunjukkan slogan ‘Lulusan SMK Siap Kerja’ tidak relevan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, sehingga mereka yang lulus dari SMK kesulitan mendapatkan pekerjaan. Baik dari segi latar belakang pendidikan dan/atau tidak memiliki keterampilan yang relevan bagi dunia kerja.
Kembali ke masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Ada beberapa masalah dasar yang perlu memerlukan solusi dari pemerintah sekaligus kerja sama dunia usaha untuk mengatasi hal tersebut. Adapun persoalan tenaga kerja yaitu:
1. Upah
Penetapan upah minimum (UM) sering kali tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan alasan di balik UM, yakni formulasi upah di UU Cipta Kerja terlalu rendah dibandingkan kenaikan pengeluaran yang ditanggung. Akibatnya, buruh harus berhemat, terkadang berutang, atau menggadaikan asetnya. Upah terlalu rendah menyebabkan perlambatan ekonomi.
2. Diskriminasi usia
Beberapa platform pencarian kerja sudah melarang perusahaan menulis tentang batasan usia kandidat, karena tindakan ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Seolah tak kehilangan akal, beberapa perusahaan akan mengetahui usia kandidat melalui biodata yang harus diisi oleh mereka dalam proses rekrutmen. Padahal Menteri Ketenagakerjaan Yassierli telah menghapus syarat batas usia dalam lowongan kerja, yang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025.
3. Kesenjangan keterampilan
Kesenjangan keterampilan menciptakan anomali, ketika terdapat lowongan pekerjaan tetapi tidak terisi karena keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan tidak dimiliki oleh kandidat. Kondisi ini membuat jobseeker kesulitan mendapatkan pekerjaan. Misalnya, perusahaan membutuhkan karyawan dengan keterampilan digital dan analytical thinking tetapi pencari kerja yang belum memilikinya.
4. PHK
Dari Januari–Juni 2025, terdapat 42.385 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini melambung 32,19% dibanding periode sama tahun sebelumnya yang berjumlah 32.064 orang. Masalah PHK akan semakin pelik jika perusahaan tidak membayar pesangon dan hak lain sesuai regulasi.
Jika karyawan melaporkan kondisi tersebut kepada pemerintah, penanganannya membutuhkan waktu lama. Sering kali, mereka yang di-PHK berusia matang dan sulit mencari pekerjaan baru karena diskriminasi usia serta persaingan ketat antar jobseeker. Hasilnya, situasi ini menambah beban pada pasar kerja.
5. Tak ada perlindungan hukum
Ketiadaan perlindungan hukum dari pemberi kerja ke karyawan menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari sekitar 11,57 juta pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), 16 juta pekerja memegang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dan lebih dari 26 juta bekerja tanpa kontrak kerja.
Apa pun perjanjian atau kontrak kerja, mereka akan bekerja sekitar 40 jam per minggu tetapi tanpa pelindungan hukum dan jaminan sosial. Qisha menambahkan tak sedikit pekerja yang tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan. Tanpa pelindungan hukum dan jaminan sosial, mereka tidak memiliki perlindungan finansial jika menghadapi risiko seperti sakit, kecelakaan kerja, atau PHK.
Baca juga: Ketahui Workplace Stress dan Cara Ciptakan Karyawan Bahagia
Solusi Kolaboratif Dalam Memecahkan Masalah Ketenagakerjaan
Memecahkan masalah di atas tidak bisa menjadi tanggung jawab satu pihak. Pemerintah perlu berkolaborasi dengan lembaga pendidikan serta pihak swasta guna membangun ekosistem ketenagakerjaan yang sesuai kebutuhan pencari kerja dan dunia usaha.
1. Pemerintah
Peran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dapat memberikan beberapa solusi, antara lain:
- Mendorong investasi padat karya
Pemerintah perlu mendorong investasi padat karya yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti ekonomi digital dan industri kreatif, sehingga menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas.
- Berorientasi pada SDM
Ketua Ketenagakerjaan APINDO Bob Azam menyebutkan bahwa strategi pembangunan pemerintah masih seputar sumber daya alam (SDA), bukan sumber daya manusia (SDM). Padahal ketersediaan SDA terbatas, terlebih jika tidak mampu mengelolanya, SDA akan cepat habis dan pekerja akan kehilangan mata pencaharian.
“Kalau SDM masih lip service saja, belum hal-hal yang konkret,” ujar Bob dalam wawancara dengan CNBC Indonesia.
- Fasilitasi dialog sosial
Bob menambahkan pemerintah, buruh atau pekerja, dan perusahaan, perlu membangun dialog secara berkesinambungan untuk memahami tantangan dan mencari solusi dalam masalah ketenagakerjaan. Selama ini, mereka berdialog hanya menjelang penetapan UM.
“Perlu menjauhkan isu ketenagakerjaan dengan kepentingan politik, supaya kita bisa memandang secara jernih antara buruh, perusahaan, dan pemerintah. Ini terlihat di suatu daerah yang pengangguran paling tinggi, tapi UM juga paling tinggi. Itu orinis, ya.”
- Penguatan program pelatihan
Langkah ini memastikan program seperti Kartu Pra Kerja berjalan efektif untuk memberikan pelatihan yang relevan kepada pencari kerja dan karyawan yang di-PHK. Pemerintah juga bisa mendorong perusahaan untuk memberikan upskilling dan reskilling kepada karyawan serta memfasilitasi job fair yang terintegrasi dengan kebutuhan perusahaan terhadap tenaga kerja.
- Regulasi upah yang layak
Pemerintah perlu meninjau kembali formula penetapan UM agar pekerja memiliki hidup yang layak dengan mempertimbangkan aspek produktivitas serta kondisi ekonomi daerah. Proses penetapan UM yang transparan akan menciptakan iklim investasi yang lebih stabil.
2. Lembaga pendidikan
Mereka memiliki peran krusial dalam mencetak generasi emas. Solusi yang dapat diimplementasikan oleh lembaga pendidikan antara lain:
- Revisi kurikulum
Kurikulum harus diperbarui secara berkala agar sesuai dengan kebutuhan industri. Fokus tidak hanya pada teori, tetapi juga pada praktik, dengan memasukkan materi dan workshop berhubungan dengan keterampilan digital (seperti AI dan data analysis), soft skills (komunikasi dan kepemimpinan), dan kewirausahaan.
- Berkolaborasi dengan perusahaan
Lembaga pendidikan harus berkolaborasi dengan perusahaan swasta untuk merancang materi agar sesuai dengan kebutuhan industri dan kurikulum, menyediakan program magang, hingga membuka kesempatan kerja kepada lulusan baru, yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.
- Optimalisasi vokasi
Pemerintah dan industri harus bekerja sama untuk meningkatkan kualitas fasilitas dan pengajar di SMK, sehingga lulusannya benar-benar siap bekerja.
3. Pihak swasta
Pihak swasta, seperti perusahaan atau organisasi, tak sekadar mencari kandidat untuk memenuhi kebutuhan bisnis saja, juga mengembangkan karyawan agar menjadi individu berkinerja tinggi. Solusi yang dapat diterapkan ialah:
- Sediakan L&D dan jalur karier
Perusahaan dapat menginvestasikan dana pada program learning and development (L&D) karyawan. Baik itu upskilling, reskilling, coaching, maupun mentoring guna meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan. Selain itu, sediakan jalur karier yang transparan dan jelas bagi karyawan, sehingga mereka memiliki motivasi untuk terus berkembang.
- Tetap relevan
Perusahaan perlu mempertimbangkan strategi agar tetap relevan dengan angkatan kerja terkini. Misalnya, kebutuhan karyawan gen z tentang fleksibilitas kerja guna meningkatkan work-life balance, memiliki program magang dan memberi masukan kepada lembaga pendidikan, serta bekerja sama dengan pemerintah untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih baik.
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia menjadi tantangan multidimensi yang tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Upaya ini memerlukan kolaborasi dan komitmen bersama dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan pihak swasta untuk menciptakan ekosistem yang sehat.
“Tripartit harus punya roadmap ketenagakerjaan, mau dibawa ke mana dan seperti apa ketenagakerjaan kita. Ini yang harus kita lakukan untuk memanfaatkan bonus demografi sehingga menjadi potensi bukan beban,” kata Bob.
Leave a Reply