Tak sedikit yang beranggapan bahwa employee engagement adalah mengadakan berbagai kegiatan bagi karyawan. Tujuannya, agar mereka lebih terlibat dengan perusahaan dan rekan kerja.
Pendapat tersebut ada benarnya, tetapi apakah kegiatan employee engagement sudah sesuai kebutuhan karyawan, kegiatan hanya sebagai program yang diinginkan oleh HR, atau mengadakan program engagement agar terlihat keren?
Rendhy Ardya Pradhita, pria yang sempat menduduki jabatan sebagai Head of People at Flip sekaligus Top HR Voice di LinkedIn, membahas makna employee engagement bersama HRPods, Senin (11/03/2024), Depok, Jawa Barat.
Employee Engagement Tak Sekadar Mengadakan Kegiatan
Sering kali, perusahaan menyamakan employee engagement dengan kegiatan kebersamaan, seperti games, club atau team building. Sebenarnya, itu tidak salah karena perusahaan biasanya memiliki tim culture engagement yang telah merancang dan menjalankan kegiatan selama setahun atau satu periode tertentu.
Kegiatan seperti itu tetap diperlukan oleh perusahaan agar semua karyawan bertemu langsung atau kumpul bareng, sehingga bisa lebih saling mengenal satu sama lain. Namun apakah kegiatan seperti itu saja sudah cukup?
Kalau membahas tentang program engagement, HR sering terjebak dalam melakukan “dosa”. Apa itu? Sering kali HR membuat kegiatan karena mereka ingin membuat kegiatan tersebut, bukan karena karyawan membutuhkannya.
Sering kali juga HR berasumsi tentang kebutuhan karyawan dengan cara mencontek program engagement dari perusahaan luar, which is itu tidak selalu relevan. Setiap perusahaan memiliki keunikan masing-masing, demografi pun berbeda, demikian juga konteks bisnisnya.
Oleh karena itu, cara paling tepat untuk meminimalisir “dosa” adalah dengan cara cek langsung ke karyawan, seperti bagaimana kondisi mereka, apa yang mereka butuhkan, apa aspirasi mereka, apa tantangan mereka di lapangan, dan masih banyak lagi. Dari hal itu, kita bisa memetakan, mengolah, menganalisis, dan testing sebuah program. Kalau mereka ada masalah, kita langsung mencari tahu penyebab dan cara menyelesaikannya.
Selanjutnya, employee engagement memiliki makna luas. Jadi, perhatikan pula bagaimana cara perusahaan mengelola performance management. Misalnya, apakah karyawan dan pekerjaannya sejalan, apakah pekerjaan itu sesuai yang ia butuhkan, atau apakah atasan memberikan dukungan dan kesempatan kepada anggota timnya untuk bertumbuh. Tentu, hal itu tak lepas dari kebijakan, budaya perusahaan, pola kerja, hingga SOP.
Contohnya, karyawan yang bekerja benar dan bagus, maka ia akan mendapatkan reward sepadan. Misalnya, bonus, insentif, atau mengikuti pelatihan. Sebaliknya, karyawan yang kinerjanya kurang akan mendapatkan sanksi, teguran, atau improvement plan.
Upaya seperti itu akan memengaruhi employee engagement, karena karyawan merasa diapresiasi oleh perusahaan. Kalau mereka sudah spend extra effort, kerja keras, hasilnya pun oke, tetapi malah tidak diapresiasi, akhirnya kondisi ini mengarahkan mereka ke demotivasi.
Survei & Tanya Langsung, Mana Lebih Baik?

Survei, jika….
Jika ingin melangsungkan program engagement, HR dapat melakukan survei atau bertanya langsung ke karyawan. Ingat, jangan berasumsi.
Kalau perusahaan besar dan jumlah karyawan ratusan hingga ribuan, HR dapat menggunakan survei. Itu cara paling simpel, karena kita bisa mengolah hasilnya dengan cepat dan efektif biarpun ada kemungkinan karyawan mengisi survei ala kadarnya.
Bertanya, kalau….
Kalau perusahaan kecil dan total karyawan tidak lebih dari 50 orang, HR bisa bertanya langsung. Kalau jumlah karyawan sudah ratusan, HR bisa melakukan random check ke beberapa karyawan. Caranya, ngobrol langsung dengan mereka. Terkadang, kita mendapatkan insight yang tidak akan kita dapatkan jika kita melakukan survei.
Memang, di sini kita perlu meluangkan energi ekstra buat bertemu dan ngobrol dengan mereka. Terlebih kalau ngobrol lintas divisi atau generasi, itu akan menghasilkan insight yang berbeda-beda.
Dengan upaya ini, HR memperoleh banyak insight yang dapat digunakan. Kita juga bisa memilah mana yang personal issues dan organizational issues, sehingga kita bisa membuat kebijakan baru atau strategi yang lebih besar lagi dan sesuai dengan konteks yang dibutuhkan perusahaan pada saat itu.
Analisis hasil
Setelah mendapatkan hasil survei atau insight karyawan, tim HR dapat menganalisis, lalu memutuskan aktivitas atau program engagement. Wujudnya bisa mengadaptasi dari perusahaan lain.
Tip buat praktisi HR, kalau ingin mencontek program dari tempat lain, jangan cuma mencontek wujudnya saja. Lebih jauh lagi, pahami alasan mereka memutuskan untuk membuat program tersebut. Kalau kita punya alasan yang mirip, wujudnya bisa menjadi mirip. Kalau alasannya sudah berbeda, kemungkinan wujudnya pun bisa berbeda.
Jadi, kalau kita ingin membuat sesuatu, sebaiknya jangan buat hanya karena kita ingin melakukannya, tetapi pastikan bahwa karyawan yang membutuhkannya. Kalau kita tidak peduli dengan kebutuhan mereka, jangan heran kalau mereka tidak engage setelah mengikuti kegiatan engagement. Kenapa? Ya, karena bukan kegiatan itu yang mereka butuhkan.
Apakah Karyawan Engage Pasti Bahagia?
Berkaitan employee engagement, feeling karyawan tidak melulu harus bahagia atau senang. Saya pribadi lebih melihat happiness itu bersifat temporary. Ini adalah situasi emosional. Karyawan dapat engage, happy, dan aktif terus itu bagus, tetapi perusahaan tidak se-flat itu, pasti ada dinamikanya, kan.
Kalau ia sedih atau kecewa, tetapi masih punya positive feeling kepada perusahaan, ia bisa engage. Ada kalanya ia kecewa terhadap keputusan perusahaan dan hal itu wajar. Kekecewaan terjadi bisa karena ia tidak tahu apa yang melandasi perusahaan mengambil tindakan tersebut, sehingga perusahaan perlu secara terbuka mengkomunikasikannya kepada karyawan, sehingga karyawan menjadi paham dan tetap memiliki positive feeling kepada perusahaan.
Ada orang yang perasaan hatinya naik turun, ia tetap engage. Di sisi sebaliknya, ada karyawan yang suasana hatinya happy tetapi sebenarnya dia tidak engage.
Perusahaan mengambil sebuah keputusan untuk kepentingan bisnis, sehingga karyawan yang belum memahaminya boleh saja kecewa. Kalau perusahaan dapat menjelaskan alasan dan pertimbangan di balik keputusan itu dan karyawan dapat memahami maka akan lebih baik.
Jadi, antara employee engagement dan perasaan hati adalah dua hal berbeda tetapi saling beririsan. Engagement is one thing dan perasaan hati is another thing.
Tren Employee Engagement
Akhir-akhir ini, saya sering melihat perusahaan mengadakan engagement berupa AMA atau Ask Me Anything. Sebenarnya, dulu sudah ada program tersebut, tetapi sekarang banyak yang melakukannya lagi.
AMA adalah momen di mana top management berbicara satu forum dengan karyawan, di mana karyawan boleh bertanya apa pun ke top management. Kalau acara offline, pengajuan pertanyaan secara langsung. Kalau online, pertanyaan diajukan melalui online tools seperti Slido, Kahoot, Menti, atau Jamboard.
Kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan hubungan karyawan dan manajemen. AMA juga bisa dilakukan antar tim, karena terkadang tim A sering bekerja sama dengan tim B, tetapi hubungan mereka kurang dekat.
Kalau tren employee engagement secara umum yang sering digunakan adalah employee experience. Ini adalah proses bagaimana interaksi karyawan terhadap perusahaan dan segala macam aspeknya.
Jika karyawan memiliki positive experience terhadap organisasi akan diasumsikan bahwa engagement akan meningkat. Hal tersebut begitu juga sebaliknya, yaitu berupa seluruh aspek yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan pengalaman karyawan, mulai dari sebelum proses hiring bahkan hingga setelah karyawan resign.
Simak obrolan bersama Rendhy tentang keterampilan wajib dikuasai oleh pemimpin di sini.
Leave a Reply