toxic productivity

Tanda Toxic Productivity Dan Cara Menghadapinya

Beberapa tahun terakhir, kita mulai familiar dengan istilah toxic productivity. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini mengacu pada arti produktivitas yang membahayakan.

Dengan kata lain, tidak semua bentuk produktivitas itu baik. Bagaimana mungkin produktivitas yang menghasilkan sesuatu bisa memiliki sisi membahayakan?

Toxic Productivity, Apa Itu?

Apakah Anda benar-benar sibuk sampai sulit mengambil jeda atau terjebak dalam lingkaran toxic productivity?

Toxic productivity merupakan ketika seseorang terobsesi untuk tetap produktif dan memprioritaskan pekerjaan melebihi kesehatan dan hubungan sosial.

Seseorang dapat dikatakan tergila-gila untuk bekerja dan menjadi lebih baik. Ini melebihi konsep workaholic.

Produktivitas berbahaya ini ditandai dengan rasa bersalah ketika seseorang tidak menyelesaikan sesuatu. Misalnya, ketika istirahat, mereka tidak bisa mematikan kerja otak. Bahkan untuk bersantai sejenak pun akan timbul rasa cemas karena memikirkan apa yang seharusnya dikerjakan.

Produktivitas ini merusak kinerja dan kesejahteraan karyawan. Ujungnya, menyebabkan stres tinggi, kecemasan, dan kelelahan kronis.

Dalam konteks profesional, produktivitas beracun sangat merugikan semua pihak. Sayangnya, tidak sedikit tempat kerja yang sadar terhadap hal tersebut.

Tanda Toxic Productivity

Anda juga familiar dengan hustle culture yang memiliki deskripsi serupa dengan toxic productivity.

Hustle culture adalah budaya yang mengagungkan bekerja di atas segala-galanya. Bekerja lebih pagi hingga larut malam dan mengutamakan produktivitas kerja.

Kondisi itu berkontribusi besar pada mindset seseorang sehingga membentuk toxic productivity di lingkungan kerja. Sekilas, ciri keduanya pun mirip, yaitu menomorsatukan produktivitas.

Apakah Anda pernah melihat ciri-ciri berikut di tempat kerja?

  • Sering terlihat makan siang sambil bekerja atau melewatkannya
  • Terus-menerus duduk di depan komputer
  • Menolak untuk mengambil cuti
  • Selalu terlihat kelelahan
  • Sering marah dan tidak sabar dengan rekan kerjanya
  • Merasa pekerjaannya selalu kurang atau tidak memuaskan
  • Meski bekerja sepanjang waktu tetapi produktivitas menurun

Mengutip HR Morning, seseorang tidak bisa selalu aktif atau bekerja setiap menit setiap hari. Tidak peduli seberapa besar kekuatan fisik dan mental yang dimiliki, seseorang bisa “tumbang” juga.

Jika tempat kerja mendorong toxic productivity, Anda akan memiliki kelompok karyawan yang terdiri dari orang-orang yang tidak bahagia, stres, dan kelelahan.

Mereka akan menjadi apatis, disengaged, quiet quitting, mengalami masalah kesehatan fisik dan mental yang serius, hingga pada berakhir resign.

Studi menemukan bahwa orang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki risiko 13% lebih besar terkena serangan jantung. 33% lebih memungkinkan mengalami stroke dibandingkan mereka yang bekerja 35 hingga 40 jam setiap minggunya.

Jangan Sampai Terjebak, Ikuti Langkah Ini

ilustrasi toxic productivity, ilustrasi stress free

Ada beberapa cara untuk menghindari toxic productivity, di antaranya:

#1 Bangun sense of ownership

Dibandingkan mengejar target dan bekerja tiada akhir, lebih baik ubah mindset Anda ke arah sense of ownership.

Mindset ini membuat Anda lebih engage dan menyukai pekerjaan tanpa memaksakan diri untuk beristirahat. Ketika Anda ingin yang terbaik untuk pekerjaan, maka akan timbul rasa menghargai tiap prosesnya, termasuk diri ke sendiri.

#2 Stop multitasking

Pikiran ‘mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus’ dapat menciptakan toxic productivity. Stop untuk multitasking.

Jika kondisi memaksa Anda bekerja multitasking, sebaiknya miliki manajemen waktu, menyadari kemampuan diri, dan memprioritaskan pekerjaan sebijak mungkin.

#3 Wajib istirahat

Manusia bukanlah mesin yang terprogram untuk menyelesaikan tugas terus-menerus. Manusia membutuhkan istirahat meski hanya 10 menit dalam satu jam. Misalnya, stretching, menyapa kolega, dan penuhi kebutuhan hidarsi.

#4 Kaji ulang pekerjaan

Jika beban kerja Anda tidak masuk akal, maka kaji ulang job description. Anda perlu berdiskusi dengan manajer. Jangan sampai, kerja keras berlebihan tetapi timbal baliknya tidak seimbang.

#5 Self care

Selain hal-hal mengenai pekerjaan seperti di atas, penting juga untuk merawat diri. Self care merujuka pada pengelolaan kesejahteraan diri, seperti:

  • Memiliki batasan jelas antara kehidupan profesional, personal, dan sosial
  • Olahraga untuk menjaga kondisi fisik dan psikis
  • Mengubah pola pikir untuk menyadari keberadaan saat ini

Bagaimana Jika perusahaan Mendukung Toxic Productivity?

Kondisi ini sangat disayangkan, tetapi bukan berarti karyawan tidak bisa melakukan apa pun. Dalam hal tersebut, perusahaan memerlukan bantuan tim HR.

Tim dapat memperhatikan employee wellbeing dengan cara:

  1. Mempromosikan work-life balance untuk kesejahteraan karyawan
  2. Memberikan apresiasi kepada karyawan, seperti memberikan pujian setelah menyelesaikan proyek atau tugas
  3. Dorong eksekutif level untuk menjadi contoh untuk mempraktikkan work-life balance
  4. Mendukung program yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan karyawan, seperti olahraga seminggu sekali atau perayaan hari besar

Penutup

Toxic productivity yang lahir dari hustle culture dapat membahayakan organisasi. Meski bagi beberapa organisasi bahwa itu adalah hal biasa.

Namun, produktivitas yang jelas tidak sehat ini memicu lingkungan kerja tidak sehat pula, sehingga tim HR dan pemimpin perlu mengambil tindakan untuk mencegahnya. Karyawan juga harus harus sadar dengan batasan pekerjaan.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *