hrdbacot HRPods

hrdbacot Berbicara Tentang Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia

Keberadaan akun hrdbacot di media sosial seperti oasis. Akun ini merupakan tempat menyenangkan bagi karyawan di tengah carut-marut informasi.

Mereka dapat leluasa bertanya atau mengomentari cuitan Mincot–admin @hrdbacot–seputar hal-hal profesional. Sebut saja rekrutmen, etika kerja, hingga peraturan ketenagakerjaan.

Sedangkan, Mincot rutin menyajikan beragam informasi tentang dunia kerja. Termasuk memberikan konten ketenagakerjaan yang serius, tetapi dikemas dengan cara kasual.

Bahkan mereka sangat interaktif ketika berdiskusi dengan warganet serta menghadirkan narasumber dalam acara daring.

Lalu, apa saja masalah yang sering dijumpai oleh mereka? Bagaimana pula mereka mengelola akun media sosial yang terlihat santai tetapi tetap profesional?

Inilah obrolan kami bersama pengelola @hrdbacot, Kamis (16/02/2023), di Jakarta.

Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia

Apa saja masalah di lingkungan kerja?

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia adalah masih banyak orang yang belum memahami tentang regulasi ketenagakerjaan.

Memang, @hrdbacot sering mengunggah konten tentang rekrutmen, tetapi bukan rekrutmen yang menjadi masalah ketenagakerjaan.

Pekerjaan rumahnya adalah skill gap antara kualifikasi kandidat yang diharapkan oleh perusahaan dan kualifikasi yang dimiliki oleh kandidat itu berbeda.

Di satu sisi, perusahaan membutuhkan kandidat. Di sisi lain, perusahaan kesulitan menemukan seseorang yang mempunyai standar atau qualified mereka.

Hal ini bisa disebabkan karena perusahaan tidak memiliki syarat tertentu mengenai kandidat.

Kandidat qualified dapat diperebutkan oleh 15-20 perusahaan. Jika perusahaan tidak mempunyai syarat khusus, kandidat berkualitas akan diambil oleh perusahaan lain.

Skill gap itu masih menjadi tanda tanya besar bagi kami, apa solusinya dan bagaimana cara mengatasinya.

Sebenarnya, hal itu menjadi tanggung jawab bersama. Mulai dari sekolah, perusahaan, dan pemerintah, supaya orang usia produktif siap bekerja dan terjun ke industri.

Namun, ada kecenderungan bahwa perusahaan ingin karyawan yang siap bekerja. Kalau demikian, bagaimana dengan kandidat yang kualifikasinya biasa-biasa saja?

Masalah ketenagakerjaan yang juga sering dijumpai adalah karyawan tidak teliti terhadap jenis kontrak kerjanya.

Hal yang paling simpel adalah mereka mengecek kontrak kerja, apakah PKWT atau PKWTT, dan memahami hak karyawan yang tertulis di sana. Ironisnya, mereka sering missed soal itu.

Pada umumnya, seseorang yang sudah diterima kerja, lalu tanda tangan kontrak, justru tidak membaca kontrak itu sendiri. Padahal karyawan harus menjaga kepentingannya. Mau tidak mau, mereka wajib membaca kontrak kerja dengan teliti.

Terkadang, karyawan tahu hak-haknya tepat sebelum resign. “Loh, ternyata ada hal-hal ini.” Itu terjadi karena ia tidak memperhatikan dari awal.

Masalah lain adalah tidak bisa menjalin komunikasi dengan baik. Jika ada konflik, sebenarnya kita dapat mengatasinya dengan berkomunikasi dan bernegosiasi antara karyawan dan perusahaan atau sesama karyawan.

Komunikasi yang buruk adalah akar dari semua permasalahan di lingkungan kerja.

@hrdbacot ingin memperlihatkan bagaimana karyawan membina hubungan yang baik dengan perusahaan. Jadi, kami mendorong mereka dapat memperjuangkan hak-haknya dengan baik, jangan sampai terjadi konflik.

Bagaimana menyelesaikan masalah tersebut?

Menyelesaikan masalah ketenagakerjaan itu harus dilihat dari beragam hal. Penyelesaiannya tidak bisa pukul rata, karena tidak ada manualnya seperti cara kerja mesin.

Hal itu dikarenakan perbedaan kasus, industri, dan karyawan akan berbeda pula cara menanganinya.

Kita pasti mengerti kepentingan masing-masing pihak, di mana sumber konflik, dan apa tujuan menyelesaikannya.

Dalam penyelesaian konflik, HRD perlu menengahi dan memberi masukan tentang langkah yang akan diambil oleh perusahaan selanjutnya. Dan, tidak semua konflik adalah masalah legal.

Konflik ini dapat berupa tidak menyukai sikap atasan karena ia suka membentak karyawan di depan umum atau ada rekan kerja yang terlibat affair. Dua contoh itu akan berbeda dalam penyelesaian masalahnya.

Bagaimana Jika Karyawan “Menumpahkan Teh” Ke Media Sosial?

Karyawan yang menumpahkan teh atau biasa disebut spill the tea, ada kemungkinan ia ingin curhat.

Kemungkinan lain, ia tidak mengetahui koridor pelaporan masalah ketenagakerjaan ke Disnaker, karena sudah skeptis terhadap pemerintah.

Kalau terjadi masalah di kantor, seharusnya karyawan menggunakan prosedur, yaitu mulai dari bipartit, lalu melapor ke Disnaker, dan mediasi. Jika di tahap mediasi selesai, itu akan lebih baik.

Masalahnya, karyawan tidak percaya dengan prosedur tersebut.

Mereka beranggapan, karyawan akan kalah, perusahaan pasti menang, atau Disnaker lebih pro ke perusahaan. Padahal mereka belum melakukannya.

Sebenarnya, tidak hanya kasus ketenagakerjaan. Ada anggapan bahwa kasus apa pun di Indonesia kalau ingin ditangani oleh yang berwenang harus viral dulu.

Jadi, karyawan memilih jalur media sosial agar kasus mereka viral. Yang perlu mereka perhatikan adalah kalau kasusnya viral dan perusahaan menyomasi balik, bagaimana?

Kalau sudah begitu, karyawan akan jatuh dan tertimpa tangga pula. Bahkan kasusnya bisa semakin membesar.

HR pun curhat ke hrdbacot

Dalam mengelola akun @hrdbacot, kami menerima banyak curhatan atau pertanyaan dari karyawan, HRD, sampai pengusaha sekalipun.

Alasannya, pertama, HRD tidak diberikan pembekalan dan pelatihan oleh perusahaan. Kedua, keputusan HRD tidak didukung oleh manajemen.

Ada pihak yang bertanya tetapi pertanyaannya bernuansa curang. Misalnya, bagaimana caranya agar tidak perlu membayar kompensasi.

Kalau HRD, mereka curhat tentang sikap Gen Z yang seenaknya, mulai dari sebelum masuk hingga ketika masuk kerja.

Misalnya, mereka susah mengikuti peraturan, tidak mempunyai manner, banyak permintaannya ketika diberikan offering, dan kalau tidak suka dengan suatu hal, ia langsung resign.

Jadi, HRD itu harus bisa menjembatani kedua belah pihak, yaitu karyawan dan perusahaan.

Anggapan HRD menyebalkan

Ada karyawan yang curhat ke kami kalau HRD di kantor mereka menyebalkan dan galak. Itu terjadi karena stereotipe.

Waktu itu, kami juga pernah membuat video yang menceritakan sosok HRD baik, karena sebenarnya memang ada HRD baik ke karyawan.

Namun, banyak netizen yang protes di kolom komentar. Menurut mereka, tidak ada HRD baik seperti di video.

Ada kemungkinan mereka belum pernah bertemu dengan HRD baik. Jadi, waktu ada tampilan HRD baik, mereka malah mempertanyakan.

Kiat Mengelola Akun Media Sosial Bagi HR

Konsistensi

Mengelola akun media sosial tidaklah gampang, karena memerlukan konsistensi. Itu yang paling susah.

Kami pun demikian, harus konsisten dan fokus dalam membahas ketenagakerjaan. Jadi, top of mind masyarakat kalau ada masalah ketenagakerjaan, larinya ke @hrdbacot.

Informasi berguna

Bagi pengelola akun employer branding, selain konsistensi, Anda perlu membahas hal-hal yang relate dan useful dengan industri kerja. Jangan hanya membuat konten seru, tetapi gimmick atau dibuat-buat.

Ini yang perlu Anda perhatikan, employer branding bukan hanya kantor dengan bean bag, area bermain, atau pantry yang dipenuhi oleh snack.

Misalnya, perusahaan perbankan membuat konten tentang mengelola keuangan dan risk management dari atasan.

Salah satu employer branding yang bagus seperti @lifeatgojek. Mereka memberikan insight tentang apa yang dilakukan dan bagaimana proses problem solving.

Sering kali, strategi employer branding yang bagus akan menarik kandidat yang bagus pula.

Jadi, lebih baik akun media sosial perusahaan showcase karyawan berprestasi dan membicarakan pengalaman kerja yang genuine, sehingga mereka attract kandidat serupa.

Kalau hanya menunjukkan gimmick, Anda bisa kalah dari perusahaan yang punya modal lebih besar.

Kolaborasi

Untuk eksekusi dan development konten media sosial, HRD harus bekerja sama dengan tim lain, seperti tim marketing atau corporate communication. Dengan demikian, HRD akan mendapatkan insight dari banyak orang, bukan dari tim mereka saja.

Cara hrdbacot Menanggapi Ujaran Kebencian

Kami sering menerima ujaran kebencian. Kalau disebut bego atau sampah, itu masih biasa, tetapi ada yang berkomentar menyerang.

Biasanya, komentar paling ganas terjadi di Twitter. Mungkin karena platform terbuka, jadi warganet bisa langsung balas komentar kami.

Kalau komentar sudah ke mana-mana, kami akan diam saja. Kalau kami balas komentar itu, kami khawatir pernyataan tersebut semakin “digoreng.”

Berbeda lagi di Tiktok. Di sana, banyak warganet yang meminta solusi, tetapi kami pernah terkena marah juga. Itu hak mereka dalam menyuarakan pendapat.

Oleh karena itu, kami mempunyai pendekatan berbeda di setiap platform. Buktinya, kami upload konten sama, tetapi reaksi mereka berbeda di setiap platform.

Untungnya, warganet tidak bosan dengan konten @hrdbacot. Mereka justru menanyakan hal yang sama terus-menerus.

Misalnya, kami posting perbedaan PKWT dan PKWTT minggu ini, minggu depan ada yang tanya soal itu.

Bahkan bisa jadi bulan berikutnya kita posting tema sama, masih ada yang bertanya lagi. Ya, begitulah audiens.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *