Merekrut Kandidat IT HRPods

3 Tantangan HR Merekrut Kandidat IT Tahun Depan

Tahun depan, tim HR masih menghadapi tantangan merekrut kandidat, khususnya mereka di bidang informasi dan teknologi (IT).

Tantangan tersebut, berdasarkan Dewi Hernita sebagai Manager HR PT Sakura System Solutions, salah satu penyebabnya adalah kehadiran angkatan kerja baru, yakni generasi z. Generasi ini sangat lekat dan cepat mengadopsi teknologi.

Namun, teknologi pula yang memanjakan mereka sehingga menginginkan proses instan. Meski demikian, siapa pun angkatan kerjanya, HR wajib memahami persyaratan kandidat serta memiliki strategi retensi mempertahankan karyawan berprestasi.

Berikut ini, obrolan HRPods bersama Dewi yang berlangsung pada Jumat (01/12/2023) di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta.

Tantangan Rekrutmen Dalam Merekrut Kandidat IT

Saya berkecimpung di perusahaan IT sudah memasuki tahun kesepuluh. Selama satu dekade ini saya melihat ada perubahan angkatan kerja.

Namun, siapa pun angkatan kerja atau generasi pekerjanya, tantangan HR adalah harus memahami requirement dan karakteristik kanal rekrutmen.

Kalau saya membuka lowongan dengan posisi finance, HR, marketing, admin, ada ratusan hingga ribuan cv yang datang. Saat mengunggah lowongan .net developer, yang kirim cv hanya 10 sampai 15 orang.

Jadi, HR pun wajib mengetahui requirement secara mendalam. Awalnya, saya pun tidak mengetahuinya, tetapi saya mencari tahu.

Caranya, berdiskusi bersama hiring manager atau user, sehingga saya memahami technical skill kandidat dan membuat laporan hasil wawancara kepada manajemen lebih mendalam.

Ini penting bagi HR memahami requirement yang dibutuhkan agar mendapatkan kandidat yang sesuai.

1) Skill gap

Menurut saya, merekrut generasi z cukup menantang. Mereka memiliki digital skill yang jempolan dan berani speak up atau pintar berbicara, meskipun mereka kurang bisa menyampaikan pesan secara runtut kepada orang lain.

Jika dibandingkan dengan anak muda India, banyak di antara mereka yang merantau ke negara lain untuk kuliah atau bekerja. Mereka pintar bercerita atau berkomunikasi, karena mereka belajar story telling di sekolah. Di sini, tidak semua sekolah mengajarkan story telling ke murid-muridnya.

Jadi, solusinya bagaimana? Kita dapat membiasakan mereka untuk berbicara secara selaras dan penuh perhatian. Saya membiasakan ke angkatan kerja muda ini untuk ngobrol atau berdiskusi dengan HR tentang apa yang mereka alami.

2) Ingin proses instan

Saya melihat angkatan kerja saat ini cenderung ingin proses instan. Banyak hal yang melatarbelakangi hal itu, dari eksternal dan internal mereka.

Mereka ingin coba ini-itu, sehingga tidak terlalu fokus dengan pekerjaan. Kalau ada masalah, mereka juga cenderung membawa perasaan, lalu resign. Hal itu pun berpengaruh terhadap sisi loyalitas mereka yang belum teruji.

Dalam hal ini, HR perlu ekstra memahami angkatan kerja ini. HR perlu memberikan rasa nyaman, aman, dan percaya ke karyawan, sehingga mereka bisa bercerita atau sekadar berkeluh kesah. It’s okay.

3) Melihat potensi pasar

HR di perusahaan teknologi harus mampu melihat teknologi yang akan keluar dalam lima hingga 10 tahun ke depan. Dengan begitu, dia bisa mereviu dan menganalisis kompetensi kandidat yang dibutuhkan oleh perusahaan.

Misalnya, HR dapat menganalisis dan menentukan kompetensi kandidat yang mampu mengadopsi teknologi AI. Dengan langkah tersebut, karyawan yang direkrut oleh perusahaan menjadi kompetitif dibandingkan karyawan di perusahaan lain.

Memahami Kebutuhan Hiring Manager

Selain mengidentifikasi tantangan rekrutmen, HR juga harus memahami kebutuhan user ketika merekrut kandidat IT.

Contohnya, salah satu direktur dari Jepang di perusahaan bertindak sebagai user dan saat wawancara, dia bertanya tentang motivasi kerja kepada kandidat. Namun, ia merasa bahwa jawaban yang bersangkutan cukup aneh karena dinilai terlalu personal.

Sejak saat itu, saya menganalisis kebutuhan user terhadap karyawan baru. Tak hanya technical skill, tetapi pola pikirnya. Saya pun menyamakan persepsi dengan mereka.

Kalau saya analisis, orang Jepang sudah terbiasa dengan SOP atau sistem yang sudah rapi. Mereka memiliki metode interview yang cuma mereka saja yang mengetahuinya, terlebih jika mereka sudah yakin bahwa kandidat tersebut berpotensi dan sesuai kebutuhan.

Strategi Retensi Karyawan Berprestasi

employer branding

Saya tidak pernah takut kehilangan karyawan terbaik di Sakura. Misalnya, merekrut si A sebagai manajer, lalu dia pindah ke perusahaan kompetitor dan menjadi direktur.

Jadi, orang-orang di luar sana melihat bahwa bekerja di Sakura dapat bekerja di perusahaan lain dengan jabatan tinggi. Itu artinya, proses belajar di Sakura luar biasa karena mendukung pertumbuhan karyawan secara profesional.

Sebenarnya, ini bisa disebut sebagai employer branding, tetapi kami juga mempunya strategi meretensi karyawan berprestasi.

#1 Succession planning

Strategi pertama bagi perusahaan yang ingin mempertahankan karyawan terbaiknya adalah memiliki succession planning. Langkah ini memiliki beragam program, salah satunya career path.

Idealnya, perusahaan membuat career path karyawan dengan jelas dan dapat diulas setiap saat. Career path bisa berjalan horizontal dan/atau vertikal sehingga karyawan dapat menduduki posisi baru lintas divisi atau departemen.

Di Sakura ada karyawan di technical area, lalu pindah ke departemen sales. Alasannya, dia punya kemampuan teknis yang mumpuni, keterampilan komunikasinya baik, dan dapat engage dengan pelanggan.

Satu hal yang tak kalah penting adalah ada kebutuhan perusahaan dan ketersediaan posisi. Kalau kami bisa melakukan rekrutmen internal, kenapa tidak? Kami akan mendiskusikan antara pemimpin antar departemen. Kalau memang tidak bisa, kami akan merekrut dari luar.

#2 kompensasi dan benefit

Perusahaan perlu menyesuaikan kompensasi dan benefit sesuai promosi jabatan. Misalnya, penyesuaian gaji dilakukan setahun sekali dan promosi setiap dua atau tiga tahun sekali, ini masuk dalam strategi manajemen suksesi juga.

#3 Company culture

Penting bagi manajemen untuk mengadaptasi kultur kerja yang relevan. Bukan hanya karyawan yang mengikuti perusahaan, tetapi juga perusahaan harus melihat pasar tenaga kerja saat ini.

Contohnya, siapa angkatan kerja terbaru, apa yang membuat mereka betah bekerja, sampai kultur kerja yang mereka minati. Tidak semua hal itu harus diimplementasikan di perusahaan, ambil best practices yang relevan menggantikan budaya kerja yang sudah ada.

Budaya kerja di perusahaan Jepang tidak semuanya kaku. Ada budaya yang bagus untuk menunjang kinerja karyawan.

Sebut saja, kaizen atau pembaharuan, di mana karyawan boleh memberitahu suatu informasi. Ada pula horenso atau budaya pelaporan. Ini sebuah tata cara berkomunikasi untuk mengatasi permasalahan di tempat kerja.

Orang Jepang itu senang melihat proses. Ini bukan lebai atau terlalu banyak pelaporan, tetapi korelasinya dengan hasil kerja karyawan dan tim. Budaya kerja tersebut bentuk apresiasi mereka terhadap anggota tim atau rekan kerja.

#4 Kesempatan untuk mengembangkan diri

Salah satu direktur kami dari Jepang mengatakan bahwa orang Indonesia cenderung akan mengundurkan diri setelah dua sampai tiga tahun kerja. Di Jepang tidak seperti itu.

Menurutnya, orang Jepang tidak berpatokan pada gaji, tetapi challenge dan kesempatan yang diberikan oleh pemimpin. Tak heran, direktur di sana berusia muda, karena dia diberikan kesempatan dari atasannya untuk memegang project besar.

Apakah orang Indonesia kalau diberikan kesempatan besar lalu resign? Kami tidak tahu juga, karena banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang resign, bahwa kita harus bisa beradaptasi dan menerima perubahan dalam hal pengembangan diri dan melihat potensi yang ada.

#5 Dukung keterampilan karyawan

Di Sakura, kami selalu memberikan program learning dan development untuk karyawan. Jadi, masing-masing orang di departemen sudah ada program dan bujetnya.

Sebelum pandemi, tim SPIsy yang fokus ke HRIS pasti mengikuti pelatihan selain itu kami juga ada departemen software developer yang belajar banyak dari NSSOL Group di negara lain. Kami sering mengirim mereka ke Bangkok, Shanghai, atau kota lain atau pertukaran karyawan.

Ketika pandemi, mereka mengikuti pelatihan secara daring, meskipun demikian hasil akhir yang didapat adalah komptensi semakin meningkat.

Loading

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *