Nayaka Fusi Madani 02 HRPods

Respons HR Terhadap Fraud Dan Skandal

Setelah berbagi pengalaman mem-PHK, praktisi HR yang terdiri dari Yugo Trie, Muhammad Sidik, Anugrah Alif, dan Radjito berbicara tentang fraud dan skandal.

Dalam diskusi virtual pada Sabtu (09/10/2021), pemilik kanal siniar Ini Podcast HRD (Katanya) menceritakan pengalaman menghadapi fraud dan skandal di lingkungan kerja.

Bagaimana respons HR jika pemimpin ingin memproses kandidat berkualitas tetapi pernah melakukan fraud dan skandal?

Anugrah: Saya pernah menemui kandidat yang jago banget secara teknis. Ternyata, di melakukan fraud di perusahaan sebelumnya. Fraud-nya enggak tanggung-tanggung, soal keuangan. Artinya, ada kemungkinan itu berulang.

Saya akan jelaskan dan paparkan dengan data, bahwa dia pernah fraud sebelumnya. Entah korupsi, penggelapan dana, pengambilan aset, atau lainnya.

Kalau pemimpin tetap keukeuh menerima dia, lalu fraud terjadi, ya udah. Kita udah sampaikan di awal. Kondisi itu termasuk kompleksitas dari posisi C level.

Ketika pengambilan keputusan sangat merugikan, itu ada di ranah tanggung jawab C level. Kita bisa memberikan data dan berpegang erat dengan itu.

Kalau skandalnya adalah pelecehan seksual, kita sampaikan dia pernah kasus seperti ini. Kalau argumennya, “Itu tidak menjamin dia melakukan di sini” berarti hal itu juga tidak menjamin dia tidak akan melakukannya lagi. Gambling.

Argumen lain, “Keterampilan teknisnya dia bagus.” Saya akan counter, teknisnya bagus tapi akan memengaruhi budaya atau akan berurusan dengan hukum atau kepolisian, ya, buat apa?

Jadi, saya akan keukeuh memberikan data dan drive, “Jangan hire dia.” Kalau jelas-jelas ada fraud, ya. Kalau datanya masih abu-abu, kita juga bingung mau merespons apa.

Sidik: Belum lama ini, saya menjumpai kejadian tersebut. Jadi, ada teman akrab di kantor.

Kami akrab sejak dia onboarding, di luar pekerjaan, kami main game bareng. Lalu, dia ada indikasi melakukan fraud.

Pas kejadian itu, saya akan menyampaikan bahwa ini adalah suatu hal penting dan bersifat profesional. Saya akan menjadi Sidik sebagai HR, bukan Sidik sebagai teman. Saya sampaikan kejadian dan dampak bahwa dia harus berhenti bekerja.

Kalau memang sudah fraud, kita harus bicara secara profesional dan lihat data-datanya. Tanya, apa yang sudah dia lakukan kemarin, dia confirmed atau enggak dengan itu, dan sebagainya.

Entah teman dari kecil atau teman kantor, saya akan menyampaikan hal yang sama. Mereka pasti paham keputusan itu bukan ada pada kita sepenuhnya.

Artinya, ada hal-hal yang sudah dipertimbangkan. Saya hanya penyambung lidah, informan, atau harus mengeksekusi atas tindakan tersebut. Kalau teman, dia harusnya paham dalam situasi ini.

Soal kandidat fraud, menurut saya tergantung perusahaannya. Ada perusahaan yang concern terhadap value, ada yang masa bodoh, yang penting kerjanya bagus.

Kalau hal itu terjadi di perusahaan yang mengutaman value dan skill nomor dua karena skill bisa diajarkan, mungkin dia enggak akan diterima.

Kita akan jelaskan ke direktur atau chief level tentang kenyataannya, “Kalau bicara value, dia enggak cocok. Jdi, enggak perlu diproses.” Kalau sudah terlanjur diproses, sampaikan saja ke C level dan meminta advice, apakah mau dilanjut atau berhenti kontrak.

Sebenarnya, recruiter itu tahu karakter perusahaan. Misalnya, perusahaan ini concern di value atau concern di skill.

interview kerja hrpods

Radjito (Djito): Saya pernah punya experience di perusahaan yang mengedepankan value. Ketika ada satu kandidat yang jago banget, jangankan skandal, kalau attitude kurang oke, kadang kita enggak akan terima orang itu. Apalagi skandal dan kasus gitu, ya.

Cuma balik lagi, kebutuhannya apa? Kita butuh skill atau menganggap dia sebagai aset berharga? Kalau butuh skill doang, enggak ada salahnya kita meng-hire dia. Kalau ingin mempekerjakan dia dalam waktu lama, maka kita harus tahu resikonya.

Ketika dia pernah melakukan pelecehan seksual, benar, kata Mas Anu. Enggak ada jaminan dia enggak akan melakukannya lagi. Yang bisa kita lakukan adalah mencegah dengan tidak menerimanya.

Pencegahannya bisa dengan cara memonitor atau mengawasi dia. Jadi, setiap ruangan yang ada dia, kita pasang CCTV, kalau itu diperlukan. Daripada kita mengurusi hal itu, masih banyak hal lain yang kita urus juga.

Ketika ada kandidat yang jago banget, tapi punya track record cukup buruk, usahakan cari pembanding yang skill dan attitude atau track record lebih baik. Bagaimana cara meyakinkan C level? Jelaskan dan bicara berdasarkan data dan fakta.

Kalau HR salah langkah merekrut orang yang melakukan fraud di tempat sebelumnya, seperti menggelapkan dana dan sampai ke tindak pidana, itu aneh juga kalau diterima. Karena bisa jadi dia malah merugikan perusahaan kita di masa mendatang.

Namun, setiap orang pasti berubah. Ketika fraud, dia belajar dan berubah, ya, bisa juga. Cuma kita lihat fraud-nya.

Ada beberapa orang yang terseret fraud. Sebenarnya dia enggak ada niat melakukan itu, tapi terseret-seret kasus ini. Jadi, dia dianggap fraud juga. Hal-hal seperti itu mungkin masih bisa ditolerir, tapi tetap diawasi.

Yugo: Sama seperti Mas Djitto, better cari pembanding. Jangan buru-buru mengambil keputusan, memaksakan untuk memproses orang yang kemungkinan akan melakukan fraud kembali.

Di satu sisi, mungkin orang itu sudah berubah setelah kejadian fraud. Misalnya, kita memberikan kesempatan dia bekerja, tapi kita tidak melibatkannya berdasarkan fraud history.

Masalah skill bisa dilatih. Kalau masalah fraud lebih ke sifat atau tabiat seseorang. Itu akan lebih sulit untuk diubah.

Kalau saya memegang prinsip, attitude, dan value perusahaan itu penting, jadi priority untuk diperhatikan. Kalau mendapatkan keduanya bagus banget, enggak perlu ditunda-tunda.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *