Principal Consultant PT Daya Dimensi Indonesia Rainier Turangan menggambarkan bahwa Indonesia pernah melewati talent war pada periode 1990 hingga 2000.
Periode tersebut menandai banyak perusahaan asal Negeri Paman Sam ingin melebarkan sayap bisnisnya ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Mereka membutuhkan karyawan andal yang terbiasa dengan penugasan ke luar negeri dan bekerja di perusahaan asing.
Salah satu strategi mereka adalah merekrut karyawan terbaik kompetitor. Yang melakukan hal ini tidak hanya satu perusahaan, sehingga mereka saling berkompetisi “membajak” karyawan. Kondisi tersebut membutuhkan biaya rekrutmen tinggi.
Kini, beberapa perusahaan telah mengalami “penyempitan” karyawan berpotensi. Baik untuk tenaga spesialis maupun talenta yang diproyeksikan ke posisi berikutnya.
Untuk mengantisipasi kebutuhan perubahan bisnis, perusahaan harus mengembangkan keterampilan dan kompetensi karyawan. Salah satunya adalah pemberian program learning and development (L&D) kepada karyawan.
Rainier membahas L&D beserta dan return on investment (ROI) bersama HRPods pada Selasa (18/07/2023), di Kantor Taman E 3.3, Jakarta.
Perusahaan Wajib Mengembangkan Keterampilan Karyawan
Saya melihat bahwa beberapa perusahaan yang sudah berdiri puluhan tahun berusaha mengembangkan keterampilan karyawan secara masif.
Namun, mereka masih merekrut karyawan lain yang ahli di bidangnya buat bergabung ke organisasi mereka. Apakah kondisi ini salah? Tidak, tetapi perusahaan agak terlambat memberikan program learning and development ke karyawan.
Ini adalah feedback bagi tim L&D di perusahaan tersebut. Kenapa mereka tidak mempunyai metode reskilling karyawan dengan cepat?
Apa reskilling yang cocok buat karyawan? Itu tergantung perusahaan. Sebelum perusahaan beralih ke bisnis lain atau menggeser bidang usaha, HR sudah menjalankan reskilling.
Menjadi employee champion
Dalam konteks HR, Dave Ulrich mengulas tentang employee champion, di mana HR sudah tidak bisa menunggu lagi penentuan tujuan bisnis, tetapi mereka harus mengetahui arah yang akan dituju oleh perusahaan.
Saat perusahaan akan berubah, di situlah tim HR dan L&D langsung mempersiapkan perubahan dari sisi karyawan, sistem, hingga alat penunjang. Jadi, perusahaan dan karyawan berjalan bersama menuju perubahan.
Di sini, HR tidak bersikap reaktif saat menangani perubahan. HR juga tidak bisa menunggu perusahaan menetapkan tujuan, baru mereka menentukan tahapan perubahan kepada karyawan.
Perubahan bisnis itu cepat sekali. Sebagai ilustrasi, lihat salah satu perusahaan rokok di Indonesia.
Perusahaan ini sempat dibeli oleh perusahaan asing. Tidak lama, mereka buyback saham dari perusahaan asing. Dulu, produk mereka adalah rokok tembakau. Sekarang, mereka menambah produk baru, yaitu rokok elektrik.
Di setiap perubahan tersebut, perusahaan memerlukan karyawan terampil yang mampu mendorong kesuksesan bisnis.
Keputusan di tangan pemimpin
Kalau berbicara tentang board of directors, BOD pasti berharap HR function bisa menemani kegiatan bisnis.
Namun, kemungkinan besar mereka akan melihat HR function as support. Hal itu dapat dilihat saat HR membicarakan budgeting.
Pada akhirnya, BOD akan melihat efisiensi yang dikerjakan oleh teman-teman HR yang berkaitan dengan administrasi, kebijakan, dan regulasi ketenagakerjaan, terlebih jika bersinggungan dengan perubahan.
Saya berempati terhadap beban teman-teman di HR. Kondisi tersebut tidak fair buat mereka.
Perubahan yang mendadak di perusahaan dapat menjadi masalah buat HR. Sebut saja, peralihan dari divisi personalia menjadi HR dan disusul dengan perubahan peraturan perusahaan.
Keadaan itu mendorong HR harus agile. Dan, itu tidaklah mudah.
Penghitungan Return on Investment Dalam L&D

Saya setuju jika ada penghitungan return on investment dalam program learning and development. Ini sama seperti kalau kita berinvestasi, harus ada menghitung modal dan laba.
Bagaimana cara menghitungnya? Itu yang perlu dipikirkan. Karena beberapa perusahaan tidak memedulikan ROI, tetapi ada juga yang menghitungnya.
Salah satu caranya adalah menggunakan Kirkpatrick Model atau Kirkpatrick’s Four Levels of Training Evaluation yang dipublikasikan oleh Donald Kirkpatrick pada 1950-an.
Kirkpatrick Model adalah alat untuk mengukur efektivitas pelatihan di organisasi. Ini telah diakui secara global sebagai salah satu evaluasi pelatihan paling efektif.
Kirkpatrick Model terdiri dari empat level, yaitu reaction, learning, behavior, and results.
Level 1
Mengukur apakah peserta menemukan pelatihan terhadap relevansi pekerjaan, engaging, dan useful serta apakah mereka happy atau tidak selama mengikuti pelatihan.
Level 2
Mengukur apakah peserta telah memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, kepercayaan diri, dan komitmen dalam program pelatihan.
Level 3
Ini mengukur perubahan perilaku setelah pelatihan. Hal ini dilihat dari penerapan materi pelatihan ke dalam pekerjaan mereka.
Level 4
Level ini mengukur pada hasil yang ditargetkan dari program pelatihan serta menyiapkan dukungan bagi peserta, sehingga hasil kinerjanya dapat terlihat.
Pemilihan jenis L&D
Kalau perusahaan ingin mengukur hasil program learning and development, maka mereka harus memilih jenis pelatihan yang menghasilkan impact.
Kalau mencari pelatihan menyenangkan, berarti mereka akan mengukur seberapa happy peserta setelah mengikuti pelatihan.
Terkadang, klien meminta pelatihan dengan fasilitator yang tidak membosankan, agar peserta happy. Saya setuju dengan pendekatan itu, tetapi kalau itu menjadi alat ukur untuk menunjukkan perubahan perilaku atau hasil dalam pekerjaan akan sulit.
Saat sesi pelatihan, peserta merasa senang. Waktu kembali ke kantor, sebagus apa pun pelatihan dan materinya, ia merasa lelah atau lupa untuk menerapkan materi, apalagi tidak dorongan dari tempat kerjanya.
Jika perusahaan ingin mengukur perubahan perilaku atau level tiga, maka mereka harus menyediakan dukungan di sekitar karyawan untuk mewujudkan perubahan.
Pemberian dukungan akan membuat karyawan mengetahui kinerjanya sudah efektif atau belum. Tetapkan pula waktu perubahan perilaku muncul pada kinerja karyawan.
Misalnya, atasan menugaskan karyawan yang berhubungan dengan materi pelatihan atau memperhatikan perilaku karyawan saat dia mengerjakan tugas harian.
Kalau pekerjaan sehari-hari sama seperti materi pelatihan, berarti atasan harus mengeceknya. Adakah perbaikan dalam penyelesaian tugas atau tidak.
L&D tidak pernah berdiri sendiri
Ada anggapan bahwa setelah karyawan pelatihan, dia akan langsung hebat. Dari dulu, tidak pernah ada hal seperti itu.
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, L&D tidak pernah berdiri sendiri. Program ini memerlukan infrastruktur pendukung dari berbagai pihak agar kualitas kinerja karyawan terjaga.
Misalnya, sistem L&D terintegrasi akan mengirimkan assignment pada hari kerja dan karyawan harus mengisinya. Jika menggunakan konsultan SDM, mereka akan memberikan kuis, video, atau artikel yang harus dibaca saat jam kerja.
Apakah mungkin tanpa dukungan seperti itu, dia bisa langsung menerapkan materi pelatihan di tempat kerja tanpa perlu dimonitor?
Hal itu bisa saja terjadi pada karyawan exceptional. Naturally, manusia tidak seperti itu.
Jadi, sekarang perusahaan mau atau tidak mengeluarkan dana tambahan untuk monitoring tools ke karyawan. Kalau tidak mau, ya, tidak masalah. Sebagai gantinya, atasan harus bekerja memonitor anggota timnya, meski hal itu jarang terjadi.
Leave a Reply