Berdasarkan TomTom Traffic Index 2022, Jakarta berada pada peringkat 29 dari 389 kota di dunia dalam kepadatan lalu lintas.
Jarak tempuh rata-rata untuk 10 kilometer adalah 22 menit 40 detik. Waktu tersebut bertambah dua menit 50 detik dibanding tahun sebelumnya.
Kini, lalu lintas Jakarta dan sekitarnya sudah kembali seperti sebelum pandemi COVID-19, padahal lalu lintas Ibu Kota lengang di awal pandemi.
Sejak pemerintah mencabut status pandemi menjadi endemi, semua kegiatan bisnis kembali berjalan. Banyak perusahaan yang mendorong karyawannya untuk working from office (WFO).
Namun, tak sedikit karyawan yang ingin mempertahankan model kerja working from home (WFH) atau hybrid. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi tim human resources (HR) sebagai penengah antara karyawan dan perusahaan.
Rainier Turangan, Principal Consultant PT Daya Dimensi Indonesia, membicarakan tantangan dan upaya yang perlu dilakukan oleh HR di masa mendatang kepada HRPods, Selasa (18/07/2023), di Kantor Taman E 3.3, Jakarta.
Model Kerja Pascapandemi
Pascapandemi hampir semua perusahaan berupaya mengembalikan ke model kerja seperti dulu, bekerja dari kantor. Model hybrid sudah sedikit, apalagi yang working from home.
Kalau kita berbicara Indonesia, khususnya Jakarta, pergi ke kantor masih menjadi masalah.
Kita sudah pernah mengalami stres karena macet sebelum pandemi. Berpindah lokasi meeting di Jakarta sangat susah. Waktu itu, kita tidak melihat pilihan bahwa bekerja dari rumah itu memungkinkan.

Sekarang kita sudah melihat pilihannya. Kalau perusahaan meminta karyawan WFO, mereka malah dianggap kuno oleh karyawan.
Walaupun sebagian besar perusahaan sudah menerapkan WFO dan karyawan baik-baik saja tentang hal ini. Beberapa riset menyatakan sebaliknya.
Berdasarkan survei World Economic Forum pada Desember 2022, dua dari tiga responden mengatakan bahwa kerja hybrid meningkatkan work-life balance dan sebesar 85% melaporkan mereka menghemat waktu dan uang agar tidak keluar dari perjalanan sehari-hari.
Secara global, 68% responden menyukai rutinitas kerja hybrid, 24% memilih bekerja jarak jauh, dan 8% memilih bekerja dari kantor.
Survei Asia Pacific Workforce Hopes and Fears Survey 2023 dari PwC untuk Indonesia menunjukkan sebesar 61% responden masih bekerja hybrid, 22% bekerja jarak jauh, dan 17% WFO.
Ini mengindikasikan masih banyak karyawan yang bekerja hybrid. Mereka ingin mempertahankan hal itu.
Ketika perusahaan menetapkan aturan WFO, karyawan akan datang ke kantor. Namun, ada kemungkinan produktivitas mereka menurun.
Tim HR pun sudah mengetahui, kalau karyawan tidak termotivasi akan menghasilkan produktivitas lebih rendah dibandingkan yang termotivasi untuk bekerja.
Menurut saya, tantangan tim HR adalah perlu menjembatani tentang WFH, WFO, dan hybrid.
Perubahan Model Bisnis dan Keterampilan
Tantangan berikutnya adalah perusahaan, kebanyakan perusahaan rintisan, tak segan “menukar” karyawan. Artinya, jika keterampilan karyawan tidak cocok dengan kebutuhan perusahaan atau model bisnis selanjutnya, maka perusahaan akan melakukan PHK.
Bagi perusahaan rintisan, mereka belum lama beroperasi. Jadi, mereka mampu memberikan uang kompensasi kepada karyawan.
Setelah mem-PHK, mereka akan merekrut karyawan baru dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Sebelumnya, pada akhir 1990-an, globalisasi terjadi di dunia. Banyak perusahaan Amerika Serikat ingin membuka cabang ke Cina, India, dan Asia Tenggara.
Mereka membutuhkan karyawan dengan keterampilan bekerja lintas batas. Waktu itu, mereka “membajak” karyawan kompetitor yang terbukti pernah menjalankan assignment internasional dibandingkan melatih karyawannya.
Orang dengan keterampilan assignment internasional mungkin terbatas, tetapi sudah tersedia. Sayangnya, proses itu membutuhkan biaya tinggi.
Perubahan bisnis juga terjadi beberapa tahun ini, di mana banyak perusahaan yang mengubah atau memperluas bisnis.
Misalnya, perusahaan transportasi memiliki layanan pembayaran digital, produsen alat elektronik mempunyai marketplace, perusahaan memproduksi konten video menyelenggarakan acara olahraga.
Tidak sedikit, mereka membutuhkan kandidat untuk membangun teknologi artificial intelligence. Apakah sudah ada talent-nya? Kalaupun ada, kemungkinan jumlahnya masih sedikit dan belum teruji.
Untuk mengelola perubahan tersebut, langkah paling penting sekarang adalah mengembangkan internal talent.
Maksudnya, perubahan model bisnis seperti itu harus diiringi dengan perubahan sistem di dalam organisasi.
Melalui HR, temukan karyawan berpotensi dibandingkan harus mencari kandidat dengan kompetensi khusus dari luar. Pastikan pula mereka siap untuk memiliki agility terhadap perubahan tersebut.
HR di Masa Depan
HR dan foresight thinking
Saya pernah mengikuti foresight thinking course pada 2019. Ini seperti design thinking, tetapi foresight thinking berfokus untuk memahami situasi saat ini sekaligus menyiapkan sesuatu di masa depan.
Pertanyaannya adalah apakah HR memerlukan foresight thinking, kemungkinan perlu. Beberapa jurnal populer telah membicarakan tentang sight atau noise.
Foresight thinking bukan sekadar tentang masa depan. Ini juga tentang membantu seseorang melakukan apa yang dapat dan harus lakukan, di sini dan saat ini.
Dalam konteks organisasi, terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
Pertama, pemimpin tertinggi dan pengambil keputusan perlu berinvestasi terhadap foresight thinking. Kedua, cenderung mendemokrasikan pandangan ke depan kepada karyawan.
Konsep foresight thinking dapat dilihat dari OpenAI. Perusahaan merilis ChatGPT pada November 2022. Saat itu, orang-orang takut kalau siswa plagiat karya tulis dengan OpenAI.
Pada Januari 2023, mereka sudah mengeluarkan checker-nya. Jarak waktu keduanya kurang dari tiga bulan. Ada kemungkinan, ketika merilis CharGPT, OpenAI sudah membuat checker-nya.
Mengintegrasikan business and people
Bagi perusahaan yang ingin menggunakan AI bukan sekadar “memasang” mesin saja. Mereka harus memahami kondisi karyawan dan tujuan bisnisnya.
Sebelum menggunakannya, perusahaan bersama manajemen dan HR harus mengintegrasikan sistem perusahaan, menyiapkan keterampilan karyawan, sekaligus menetapkan tujuan.
Kalau perusahaan memakai AI untuk membantu market research, mereka harus mempertimbangkan tiga opsi:
- Apakah tim marketing siap menggunakannya?
- Apakah mereka bersedia memakai teknologi itu?
- Apakah mereka tetap menyewa jasa konsultan untuk menjelaskan cara kerja AI?
Kalau opsi terakhir yang dipilih oleh tim marketing, maka strategi market research dengan AI tidak efisien dan ada kemungkinan alur kerja mereka tidak efisien.
Oleh karena itu, perusahaan bersama HR perlu mengintegrasikan business and people. Dalam hal ini, HR memastikan kegiatan bisnis berjalan harmonis dengan kompetensi karyawan.
Mempersiapkan cara belajar
Salah satu tugas HR di masa depan untuk menunjang bisnis perusahaan adalah mempersiapkan belajar cara belajar kepada karyawan. Belajar tentang apa, ya, tergantung tujuan perusahaan.
Misalnya, perusahaan ingin mengembangkan akun media sosial untuk menghasilkan prospek, maka manajemen dan HR perlu mempersiapkan keterampilan karyawan dan tools penunjang bermedia sosial sebelum rencana itu terlaksana.
Selain itu, strategi belajar cara belajar dapat bermacam-macam. Contohnya, memberikan social media training, menetapkan peraturan dalam menulis atau menentukan influencer yang akan digunakan, memilih sumber konten, hingga berhati-hati menjawab pertanyaan follower.
Saya rasa kita perlu belajar cara belajar bermedia sosial yang belum ada kesepakatannya ini. Bahwa semakin kita banyak follower, harus lebih memperhatikan pernyataan atau tulisan kita.
Buat follower, jangan gampang percaya terhadap pernyataan influencer hanya karena dia memiliki jutaan follower.
Leave a Reply