Divisi human resource bukan sekadar merekrut dan membayar gaji karyawan. Pekerjaan mereka sama seperti divisi lain yang mendukung perusahaan untuk mencapai tujuan.
Seperti namanya, human resource bertugas menghubungkan antara manajemen perusahaan dan karyawan sekaligus menyelesaikan masalah antar karyawan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah HR berdiri di sisi karyawan? Bagaimana mereka merespon tanggapan “miring” tentang tugas HR?
Yugo Trie, Muhammad Sidik, Anugrah Alif, dan Radjito, angkat suara tentang hal tersebut pada Sabtu (09/10/2021) melalui telekonferensi.
Mereka adalah praktisi HR yang memiliki kanal siniar di Spotify bernama Ini Podcast HRD (Katanya). Siniar di bawah bendera Nayaka Fusi Madani.
Di mana human resource harus berdiri?
Muhammad Sidik (Sidik): Kita, tuh, ngambang, bisa ke mana aja, tergantung kebutuhan. Karena saya harus berempati sama teman-teman dan juga mengikuti aturan perusahaan.
Radjito (Djito): Seharusnya ada di tengah-tengah, ya. Karena HR penyambung antara perusahaan dan karyawan. Cuma balik lagi, karena HR juga karyawan, biasanya dominan ke karyawan. Tergantung dari situasi yang dihadapi, karena setiap case pasti beda. Jadi, tetap harus melihat regulasi yang berlaku.
Anugrah Alif: Saya agak berlawanan, nih. Ada teori dari Karl Marx, dia sempat ngeluarin buku kalau HR ini sebenarnya ada di kaki perusahaan, cuma mendekatkan ke employee. Jadi, dia seakan-akan harus bisa berdiri di dua kaki. Padahal HR ini mengapitalisasi employee.
Human resource berhadapan dengan makhluk hidup. Jadi, dia harus pintar menempatkan diri supaya setiap employee ini bisa ter-utilize atau terkapitalisasi.
HR berdiri di mana? Jawaban saya, ada di perusahaan. Ketika kita bisa mendekatkan diri dan bisa membuat employee lebih produktif, perusahaan akan berjalan dengan sendirinya.
Yugo Trie: Kalau saya hampir setuju sama Mas Anugrah. Yang selalu jadi pegangan kalau bicara tentang HR adalah bagian dari business leader.
Malah HR punya privilege yang enggak dimiliki oleh divisi-divisi lain. Mereka punya privilege untuk menage seluruh SDM yang ada di perusahaan.
Simple-nya, bisnis dijalankan oleh manusia dan HR mempunyai andil cukup besar dalam me-manage hal-hal tersebut. Jadi, setuju banget dalam arti kita ada di kaki perusahaan. Ibaratnya, goals kita adalah SDM bisa bekerja secara efektif dan efisien di perusahaan.
Hal yang enggak boleh dilupakan adalah ketika kita me-manage SDM yang ada di perusahaan adalah kita harus menjadi HR yang punya prinsip. Di mana prinsip itu sebisa mungkin tidak menciderai hak-hak karyawan.
Kita harus penuhi hak mereka, enggak cuma sisi material tapi secara aktualisasi, seperti membangun development dan engagement karyawan dengan company.
Kelihatannya HR ada di tengah-tengah, yah. Namun sebenarnya, tujuan kita adalah untuk memenuhi business goals.
Anugrah: Keyword dari Mas Yugo sebenarnya human resource ini sudah berganti.
Dave Ulrich yang suka bilang HR itu bagian business partner, tetapi sekarang HR sudah jadi business player. Yang mana HR ini harus bisa menggerakkan orang untuk menjalankan bisnis.
Bagaimana tanggapan tentang berkomentar, “Kerja HR cuma rekrutmen, sibuknya pas gajian?”
Djitto: Mungkin enggak hanya terjadi di HR doang. Mungkin ada posisi finance melihat ke tim marketing, “Kerjaannya gitu doang,” atau sebaliknya. Di dunia HR ada yang namanya job grading, work load, dan lain-lain.
Hal-hal seperti itu enggak perlu ditanggapi serius, yang penting kita membuktikan kalau kita kerjanya udah bener dan enggak perlu dibanding-bandingkan juga karena setiap orang punya tanggung jawab masing-masing. Saya bawa santai saja, bercanda.
Anugrah: Saya pengen ngajak ngobrol orang yang seperti itu, tapi bukan untuk menceramahi dia. Saya lihatnya, ini orang lagi capek kerja. Kecenderungan orang capek membandingkan ke orang lain, jadi lebih sensitif.
Enggak masalah pendapat seperti itu, tetapi ketika dia butuh ini itu, mereka akan tahu kalau tugas kita enggak ngrekrut doang. HR juga ngurusin BPJS, asuransi yang enggak di-cover, gaji, overtime, dan lain-lain.
Sidik: Benar kata Anugrah, kalau ada orang seperti itu, diajak ngopi sambil ngerokok di bawah tangga. Bilang saja, “Memang benar kata lo, kalau HR gini-gini doang’. Kalau mereka tahu, HR itu harus siap menerima pekerjaan-pekerjaan yang enggak diambil divisi lain.
Tugas HR itu menjadi Satgas COVID-19, panitia vaksin, dan kunjungan ke rumah karyawan yang terkena COVID-19.
Kita juga membersihkan rumahnya, harus tahu pajak baliho, harus menghadapi preman setempat.
Kalau tiba-tiba ada kasus di jam 01.30, kita yang harus turun. HR harus segala bisa atau segala tahu. Nikmatin aja.
Djitto: Mengurus orang kesurupan juga pernah. Jadi, jangan lupa titik-titik akupuntur dan menjalin hubungan baik dengan ustaz. Karena waktu ada karyawan kesurupan, hal itu diperlukan.
Anugrah: Terkadang cabang kami di daerah ada pungli, ada yang berantem, tiba-tiba ada yang datang mendiskriminasikan cabang kita, seakan-akan kita yang salah. Untuk mengantisipasinya, paling enggak kita ketemu sama ketua RT, silaturahmi ke ketua ormas dan ketemu tokoh masyarakat.
Siapa yang mau mengerjakan tugas seperti itu? Kalau PR Marketing enggak mungkin ngurus sejauh itu.
Di beberapa perusahaan yang saya temui, itu menjadi bidang HR karena masih berhadapan dengan manusia.
Secara administratif, itu bisa dibantu tim legal atau tim lain. Kalau untuk bertatap muka, menjalin silaturahmi, itu sudah HR banget.

Kalau perusahaan mengubah peraturan, bagaimana peran human resource?
Anugrah: Sebelum kebijakan ini muncul, di sini tugas HR tidak mengurangi aspek-aspek hak karyawan. Itu perlu banget dilihat lagi. Jangan sampai kebijakan itu keluar, HR-nya sendiri tidak berperan atau tidak mengimbangi dari sisi kemanusiaannya.
Paling tidak, human resource berusaha untuk menjaga kesejahteraan mereka. Menyampaikan kebijakan itu harus perlahan, kita pilih dulu poin-poin mana yang critical, mungkin akan terjadi ketidaksetujuan dari beberapa karyawan. Itu perlu inisiatif dan perencanaan lebih detail.
Contohnya, kebijakan cicilan untuk kepemilikan rumah dihilangkan. Pasti, setiap karyawan melawan, tetapi mau bagaimana? Kita tetap memberikan pengertian bahwa saat ini perusahaan harus menghentikan kebijakan itu karena kemampuan keuangan. Kalau mau dikembalikan lagi, ayo, sama-sama gerakin perusahaan ini semaksimal mungkin.
Sidik: Kalau ngomongin kebijakan, saya harus tahu dulu, kebijakan seperti apa. Kebijakan secara umum dan tidak banyak merugikan hak karyawan atau memang berpengaruh banyak terkait hak yang tidak didapatkan oleh mereka.
Kalau kebijakannya tidak terlalu berpengaruh, sih, sebenarnya sampaikan saja. Tinggal teman-teman menjalani bahwa ada hal baru. Sekarang ini, banyak perusahaan yang dinamis, enggak terpaku pada proses. Jadi, kebijakan bisa berubah kapan pun.
Sebagai human resource, saya harus menyampaikan itu. Pada penyampaian, suka enggak suka, mau enggak mau, akhirnya tetap harus dijalani. Saya pernah mengalami kejadian itu, sempat banyak debat.
Di sini, kita berdiri di kaki perusahaan. Kita menyambungkan lidah antara perusahaan dan karyawan. Mau ikut kebijakan ini, ayo, bareng-bareng. Kalau enggak mau, berarti teman-teman belum cocok melanjutkan di sini.
Anugrah: Paling gampang lagi, di beberapa perusahaan ada serikat pekerja. Ketika mereka diikutsertakan untuk diskusi, kedepannya jauh lebih memudahkan kita untuk berdiskusi dengan manajemen.
Yugo: Kalau bicara peraturan, ada namanya sebab akibat. Aturan keluar karena ada sebab. Akibatnya keluar peraturan tersebut.
Hal yang sering dilupakan adalah alasan di balik keluarnya aturan. Kadang-kadang yang terjadi, peraturan keluar saja. Ini ada peraturan gini-gini, tapi employee engak tahu reason di balik itu.
Saya melihat yang jadi core HR adalah salah satunya bagaimana bisa menjelaskan alasan di balik semua itu.
Kita harus “memegang” leader di masing-masing departemen atau divisi. Pastikan mereka benar-benar paham, tahu reason, dan tujuan. Akhirnya mereka dapat menjelaskan peraturan tersebut ke bawah. Kalau melihat efektivitas, enggak mungkin satu atau dua orang bisa menyosialisasikan ke karyawan di satu perusahaan.
Di tempat kerja saya sebelumnya ada yang namanya masa uji coba penerapan peraturan.
Misalnya, peraturan baru harus dijelaskan tentang alasannya kepada karyawan, mereka boleh argue, tapi sambil peraturan berjalan dulu sekitar satu bulan, kalau enggak salah.
Setelah itu, kami duduk bareng manajemen, berbagi info selama peraturan berjalan, seperti ada kendala atau enggak, ada yang merugikan atau enggak, apa yang kira-kira perlu diperbaiki dari peraturan tersebut, atau peraturan yang belum matang. Ibaratnya diskusi di atas meja akan beda ketika peraturan sudah dipraktikkan.
Karena peraturan baru diuji coba dulu, karyawan punya hak menyampaikan pendapat ke line manager, dari line manager diskusi ke BOD. Akhirnya peraturan lebih mudah diterima. No complaints.
Waktu itu inisiatif dari chief-nya atau CEO-nya langsung. Kebetulan CEO mantan praktisi human resource juga. Asyiknya, yang awalnya dirasa sudah oke, ternyata masih banyak lubang yang perlu ditambal atau diperbaiki.
Leave a Reply