Data Gallup menunjukkan bahwa employee engagement menurun pada Januari 2023, yakni rata-rata karyawan Amerika Serikat yang engage sebesar 33%. Sedangkan Januari 2020, karyawan engage rata-rata 36%.
Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakjelasan peran yang menjadi elemen mendasar dalam employee engagement. Menurut Rendhy Ardya Pradhita, praktisi HR dan CEO Menebar Kebaikan Bersama, bekerja tak sekadar menyelesaikan tugas, lalu menerima gaji setiap bulan.
Di tengah dunia kerja yang semakin dinamis, karyawan menghadapi tantangan, kebijakan, dan kesempatan yang diberikan oleh perusahaan kepada mereka. Meski demikian, engagement tak lepas dari keterlibatan dimensi fisik, emosi, dan kognitif. Ikuti perbincangan HRPods bersama Rendhy, Senin (11/03/2024), Depok, Jawa Barat.
Tantangan Employee Engagement
Falsafah bekerja itu simpel, ada pemberi kerja dan tenaga kerja atau karyawan. Si pemberi kerja akan memberikan pekerjaan ke karyawan, lalu karyawan menerima upah atau gaji dari hal tersebut.
Dengan perkembangan industri dan dinamika yang ada sekarang ini, bekerja tidak lagi hanya sebatas menyelesaikan tugas dan menjalani aktivitas pekerjaan, lalu menerima gaji. Bahkan di usia produktif, kita lebih banyak menggunakan waktu kita untuk aktivitas terkait pekerjaan dibanding lainnya, sehingga dari sisi perusahaan, jika ingin karyawan tetap produktif dan bisnis bisa sustainable, perusahaan harus menjaga produktivitas mereka.
Dengan kata lain, bekerja merupakan kegiatan yang lebih dari menjalankan tugas sehari-hari, karena ada faktor di mana karyawan harus engage dengan rekan kerja dan perusahaan. Perusahaan pun harus memastikan karyawan itu engage, happy, dan enjoy agar lebih produktif.
Perubahan pola kerja
Dulu, kita berasumsi bahwa bekerja hanya dari kantor, sampai pandemi COVID-19 datang dan asumsi tersebut berubah. Ada perusahaan menerapkan full WFH. Sekarang orang-orang merasa pandemi sudah berakhir, maka perusahaan meminta karyawan bekerja dari kantor atau mereka sesekali perlu ke kantor.
Nah, pola kerja menjadi tantangan tersendiri dalam employee engagement. Yang tadinya bekerja dari kantor, lalu work from home, hybrid, dan sekarang kembali ke kantor lagi. Bagaimanapun juga bertemu langsung dengan rekan kerja akan menghasilkan engagement berbeda dibandingkan tidak pernah bertemu sama sekali atau jarang bertemu.
Lintas generasi
Tantangan berikutnya adalah karyawan lintas generasi. Saat ini, banyak perusahaan memiliki karyawan dari tiga sampai empat generasi. Kalau kita lihat pada beberapa perusahaan, ada karyawan yang kelahiran 1970-an hingga 2000-an. Di sana, ada generation gap yang dampaknya besar sekali.
Di zaman saya, antara saya yang kelahiran 80-an dengan senior yang kelahiran 70-an masih agak nyambung kalau berinteraksi karena akses informasi pada saat itu masih terbatas, sehingga kita cenderung masih mendapatkan informasi dari sumber yang sama. Kalau sekarang, interaksindengan karyawan kelahiran 90-an dan 2000-an sudah semakin melebar gap-nya, karena mereka sudah terpapar kemudahan mengakses internet sehingga informasi mereka sedemikian luas.
Terkadang kita mungkin kurang mengerti dengan istilah-istilah yang mereka gunakan. Bahkan generasi di atas saya banyak yang curhat dan merasa “takjub” dengan perilaku karyawan kelahiran 2000-an. Namun ternyata, begitu juga sebaliknya, banyak generasi 90-an dan 2000-an yang curhat bahwa mereka pun juga “takjub” melihat cara kerja generasi di atas mereka.
3 Dimensi Dukung Keterlibatan Karyawan

Idealnya, untuk melakukan employee engagement, kita harus melibatkan tiga dimensi, yaitu fisik, emosional, dan kognitif. Kenapa demikian? Mari, kita bedah satu per satu.
Fisik
Dimensi fisik ini paling terlihat, karena simply kita melihat rekan kerja ada di sebelah kita. Misalnya, hadir di tempat kerja online meeting dengan menghidupkan kamera, atau hadir dalam acara kantor. Terkadang ada juga kondisi di mana karyawan hadir di kantor, tetapi hati dan pikirannya ke mana-mana atau dalam hati sebenarnya dia sedang ngedumel. Jadi, dimensi fisik saja tidak cukup.
Emosi
Kita harus melihat sisi emosi atau bahasa sederhananya adalah perasaan. Kalau karyawan engage, artinya mereka memiliki “positive feeling” kepada organisasi, bisa berupa mereka enjoy bekerja di sana atau menikmati lingkungan dan pekerjaannya.
Kognitif
Dari sisi kognitif, karyawan yang engage dapat memfokuskan energi mereka untuk perusahaan, pekerjaan, dan tanggung jawab lain. Dengan kata lain, mereka akan mencurahkan energi dan fokus mereka terhadap perusahaan.
Ketiga hal tersebut dapat tumbuh jika perusahaan memberikan apresiasi, ruang, dan kesempatan kepada karyawan untuk tumbuh sehingga mereka bisa mengeksplorasi diri. Dampaknya tidak hanya terlihat dalam diri karyawan, tetapi juga mereka akan lebih engage ke perusahaan.
Kesempatan Bertumbuh Dorong Employee Engagement
Idealnya, karyawan membutuhkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula perusahaan, mereka harus terus berkembang. Perusahaan mana yang mau stagnan? Pasti, mereka ingin memiliki profit lebih besar dan besar lagi.
Namun, yang perlu kita sadari adalah kadang kala ada perusahaan yang tidak bisa memberikan kesempatan itu, seperti memberikan pelatihan, naik gaji, promosi, atau lainnya. Penyebab kondisi tersebut bermacam-macam, contohnya seperti bisnis sedang menurun, restrukturisasi, atau hal lainnya.
Kita pun paham bahwa pada dasarnya, karyawan juga butuh untuk menerima kenaikan gaji, mendapatkan tantangan lain dalam pekerjaan, atau promosi ke posisi baru. Dalam konteks employee engagement, perusahaan perlu mempertimbangkan dua hal.
#1 Kesempatan bertumbuh
Pertama, memberikan kesempatan bertumbuh atau growth opportunity. Ini bentuknya tidak selalu promosi, karena definisi dari growth bagi individu adalah ketika kita belajar mengakuisisi pengalaman baru, apa pun wujudnya.
Misalnya, dulu Si A mengerjakan tugas talent acquisition, sekarang dia melakukan employer branding, atau dulu Si B hanya berwenang sebagai recruiter, sekarang dia juga melakukan data analyst untuk keperluan tim HR.
Di sini, Si A tidak mendapatkan promosi, tetapi perusahaan memberikannya kesempatan belajar berupa hal baru yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Kalau bisa promosi lebih bagus, tetapi tidak semua perusahaan memberikan kesempatan itu, maka sebagai gantinya adalah growth opportunity dalam bentuk memberi pengalaman baru tersebut.
#2 Berikan kebebasan
Sering kali kesalahan para leader adalah terkadang mereka merasa bahwa keberhasilan pengalaman di tempat kerja sebelumnya dapat diaplikasikan di kantor saat ini. Padahal cara kerjanya dulu belum tentu relevan di tempat sekarang.
Ada kemungkinan bahwa dulu dia berhasil dengan cara kerja di tempat sebelumnya karena konteks yang dihadapi pada saat itu memang perlu diselesaikan dengan cara tersebut. Mungkin ada faktor yang berpengaruh, seperti akses informasi, penggunaan tools, teknologi, dan demografi karyawan. Namun berbeda perusahaan, jelas berbeda pula konteksnya sehingga tidak berarti untuk mendapatkan hasil yang sama hanya bisa diperoleh dengan cara yang sama pula.
Kalau karyawan tidak memiliki kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaannya dan atasan terlalu mendikte atau micromanage, lama-kelamaan hal itu membuatnya terkekang dan demotivasi, karena tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi cara yang dia mau.
Idealnya, atasan cukup kasih arahan saja, “Ini ada pekerjaan, output yang diharapkan kira-kira begini” dan dia mempercayakan cara anggota tim untuk mengerjakannya. Jadi, terserah tim ingin mengerjakan dengan cara apa dan bagaimana. Keadaan itu akan memancing mereka untuk mencari tahu tentang cara menyelesaikan pekerjaan tersebut, berdasarkan output yang diharapkan dari atasan. Tentu, leader tetap harus memantau kalau ada pekerjaan yang menyimpang atau ada potensi kesalahan.
Simak obrolan bersama Rendhy tentang keterampilan wajib dikuasai oleh pemimpin di sini.
Leave a Reply