Center for Disease Control and Prevention (CDC) menuliskan bahwa kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial dari diri seseorang.
Hal tersebut memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertindak. Dengan demikian, kondisi ini membantu individu untuk menangani stres, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan yang sehat.
CDC pun menyatakan bahwa kesehatan mental adalah hal penting di setiap tahap kehidupan seseorang, dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Namun, tidak semua orang menganggapnya penting.
Angesty Putri, M. Psi, Psikolog, CPC, mengatakan kesehatan mental tidak menjadi prioritas dalam kehidupan, termasuk di lingkungan kerja. Simak pembahasan psikolog dan coach lulusan Universitas Indonesia tentang kesehatan mental secara telekonferensi, Rabu (22/09/2021).
Penyebab Kesehatan Mental Tak Menjadi Prioritas
Saya praktik lumayan lama, jadi merasakan juga momen, mungkin 10 tahun lalu, orang-orang concern-nya masih ke kesehatan fisik.
Mereka tidak notice bahwa ada kaitan kondisi yang kita rasakan secara psikologis dengan kondisi fisik. Kesehatan fisik masih dianggap prioritas dibandingkan kesehatan mental
Penyebabnya, pertama, informasi. Ketersediaan dan akses informasi itu berpengaruh sekali. Dulu informasinya terbatas, sekarang ada gempuran informasi dari media online.
Orang-orang menjadi mudah mengakses informasi tentang kesehatan mental, seperti apa itu mental health, apa saja jenisnya, apa saja cirinya, atau pertanyaan ‘jangan-jangan yang aku rasakan ternyata berhubungan dengan kesehatan mental ya?’
Kedua, stigma. Kalau dulu, membicarakan kondisi mental disebut gila atau baper. Kalau pergi ke psikolog itu seolah-olah ada masalah yang berat sekali, padahal tidak juga.
Kenyataannya, orang ke psikolog itu ada yang ingin cerita saja, ingin punya teman ngobrol, ingin ada temen diskusi atau bertukar pikiran, tidak selalu mengarah ke penanganan serius. Sekarang, stigma itu semakin berkurang, pemahaman mental health juga makin berkembang.
Ketiga, situasi. Sebelumnya, kondisi seseorang putus cinta atau cerai itu dianggap isu personal. Saat pandemi, akhirnya semua merasa stres menghadapi kejadian yang tidak terduga dan se-challenging ini.
Jadi, pandemi menimbulkan dampak buat orang-orang yang tadinya merasa stable, merasa oke dengan pekerjaan, keluarga, dan hidupnya, tiba-tiba ada stressor besar datang tidak terduga. Kita semua merasakan kondisi yang sama.
Strategi Dukungan Dari Perusahaan

Sekarang awareness kesehatan mental di perusahaan sudah meningkat.
Mereka sudah beranggapan bahwa kesehatan ini penting dan harus diperhatikan, meski aplikasinya belum merata. Maksudnya, ada perusahaan yang sudah memiliki sistem rapi sekali, tetapi ada yang belum.
Perusahaan yang mempunyai sistem rapi. Misalnya, mereka mengadakan screening rutin, tak hanya dengan medical check up, tetapi juga asesmen psychological screening. Ketika ada yang bermasalah, HR memiliki alur penanganannya.
Kalau ada karyawan yang ingin konseling, dia sudah tahu harus menghubungi siapa karena HR sudah memiliki sistem. Umumnya, HR punya skill penanganan dasar untuk masalah psikologis.
Ada perusahaan dengan sistem merujuk. Misalnya, masalah karyawan dikategorikan sudah membutuhkan penanganan profesional atau psikolog, maka dia dirujuk ke lembaga psikologi yang sudah bekerjasama dengan perusahaan.
Ada pula perusahaan dengan sistem parsial. Misalnya, kalau ada karyawan yang memiliki masalah, dia bilang ke HR, lalu HR merujuknya ke psikolog.
Ada juga perusahaan yang tidak ada penanganan sama sekali. Isu mental dianggap masalah pribadi, belum diakomodir secara fasilitas, insurance, dan lainnya.
Teman-teman sudah mulai aware, bahkan di kalangan pemerintahan sudah mulai banyak kegiatan webinar atau sharing session tentang mental health in the workplace. Namun, aplikasinya challenging dan tidak semua perusahaan mempunyai sistem menyeluruh.
Tak memiliki sistem, tetap bisa mendukung
Perusahaan yang tidak memiliki sistem, tetap bisa mendukung kesehatan mental karyawan. Caranya, pertama, membangun suasana keterbukaan.
Dalam arti, terbuka untuk sharing masalah pekerjaan maupun masalah pribadi. Jadi, karyawan bebas berbicara ketika punya masalah.
Dia tidak sungkan berbagi cerita dengan rekan kerjanya tanpa penghakiman, tetapi bukan berarti semua hal harus ceritakan.
Kedua, mengedukasi pemimpin. Mau tidak mau, HR harus mengedukasi pemimpin tentang kesehatan mental.
Kalau perusahaan atau HR belum bisa menangani karyawan bermasalah, perusahaan bisa merujuk atau kerja sama dengan pihak lain. Paling tidak, perusahaan membangun atmosfer kerja lebih baik.
Sinergi semua pihak
Untuk menumbuhkan kesadaran, sebenarnya perlu sinergi semua pihak.
Top management sebagai regulator yang memiliki dan mengetahui arah perusahaan serta mempunyai kepentingan bisnis juga perlu mengetahui tentang mental health.
HR yang memiliki sistem akan membuat alur penanganan dan mendorong pemimpin untuk memahami karyawan, team leader, supervisor, dan manajer.
Kalaupun HR punya sistem, tetapi top management tidak mendukung, pada akhirnya, kesadaran dan penanganan kesehatan mental tidak berjalan.
Leave a Reply