Di dunia kerja, kita berusaha menegakkan kepatuhan. Namun, usaha itu tidak selalu lancar.
Terlebih, jika Anda adalah karyawan human resource (HR) yang menghadapi kekuatan “orang dalam”. Ia bukan sembarang orang dalam, karena ia adalah salah satu c level.
Belum selesai dengan orang dalam, HR dan tim harus mempertimbangkan, apakah karyawan boleh memiliki side job atau tidak.
Pengelola siniar Ini Podcast HRD (Katanya) dari Nayaka Fusi Madani, Yugo Trie, Muhammad Sidik, Radjito, dan Anugrah Alif, berbagi pandangan tentang kekuatan orang dalam hingga side job.
Diskusi bersama Yugo dkk. diadakan pada Sabtu (09/10/2021) melalui telekonferensi.
Apa tanggapan HR tentang orang dalam? Misalnya, C level memasukkan keluarganya untuk bekerja di perusahaan?
Anugrah: Satu sisi, ya, “Lo siapa? Lo aja dipekerjakan atau digaji karena tanda tangan si owner ini.”
Kalau sudah melibatkan owner, jujur, kita susah. Namun, kita masih bisa memberikan sudut pandang dari sisi HR. Misalnya, “Pak, ada baiknya kita ikuti SOP dulu, seperti psikotes dan wawancara.”
Sejauh ini, tempat saya kerja, C level masih mau mengikuti SOP. Jadi, kita masih bisa memberikan feedback. Misalnya, kandidat enggak baik dalam aspek ini, intelegensinya enggak cocok, atau skill-nya enggak sesuai dengan posisi manajer di unit itu.
Untuk keputusan hire atau tidaknya, misalnya, saya adalah level staf rekrutmen, jujur, saya harus mengobrol dengan atasan karena ini menyangkut C level.
Level saya dan dia terlalu jauh. Yang penting, proses rekrutmen mengikuti SOP. Saya melihat daripada orang bawaan yang diterima membuat unit berlari lambat, kan, kasihan C level-nya juga.
Radjito (Djito): Balik lagi, tergantung dari C level. Dia paham atau mungkin kepepet atau punya balas jasa ke orang lain, mau enggak mau, dia membawa orang tersebut.
Saya percaya, mungkin teman-teman di sini punya value yang sama, yaitu ada satu hal yang bisa kita kembangkan dari orang tersebut. Misalnya, dia lulusan SMA, lalu bingung masuk posisi apa, maka kita harus menggali keterampilan dan mengarahkan ke departemen yang cocok dengan skill-nya.
Nah, ini juga tugas HR, bagaimana kita mengembangkan karyawan. Mungkin kita bisa menggali potensi pada dirinya. Itu kalau kondisinya, dia harus diterima.
Kalau C level memberikan kebebasan ke kita, maka akan diproses sesuai standar. Dari situ, kita tahu kekurangan dan kelebihannya.
Kalau hasilnya enggak lolos atau lolos tapi nilainya so-so, itu tetap harus kita infokan ke C level. Kita harus memberitahu risiko ke depannya, jika perusahaan menerima orang tersebut. Jadi, komunikasi dengan C level juga penting.

Bolehkah sesama karyawan berpacaran?
Siddik: Di tempat kerja sekarang, kalau sesama karyawan menikah, maka salah satunya harus resign. Dulu, waktu saya bekerja di perusahaan retail, peraturannya juga sama.
Biasanya, mereka lebih ke pacaran, sih. Kalau mereka bawa masalah pribadi ke kantor, tinggal mempertemukan mereka buat penyelesaiannya.
Jika mereka tidak bisa menyelesaikannya dengan cepat, kami sarankan mereka rehat atau ambil cuti dulu. Biar hati mereka tenang, daripada kerja kepikiran ini itu.
Fisik mereka ada di kantor, tetapi pikirannya enggak ada. Ya, percuma juga untuk menyelesaikan masalah.
Apakah boleh karyawan punya side job?
Djito: Kita harus melihat kontrak antara karyawan dan perusahaan. Kalau di kontrak tertulis bahwa karyawan tidak boleh mengambil side job, ya dia enggak boleh punya side job.
Kalau secara legalitas enggak ada kontraknya, dia bisa memiliki pekerjaan sampingan. Selama dia bisa membagi jadwal dan enggak mengganggu performa di perusahaan, ya, enggak masalah.
Kalau itu sudah mengganggu, seperti sering bolos kerja di pekerjaan tetap, ya, harus ditindak.
Tergantung side job-nya. Mungkin dia punya tanggung jawab besar menghidupi keluarganya, secara finansial belum tercukupi dengan pekerjaan utamanya, jadi dia perlu side job, kan.
Contohnya, banyak karyawan yang ikut kemitraan ojek online. Ada yang kerja kantoran, tetapi Sabtu-Minggu menjadi ojek online. Selama itu tidak mengganggu pekerjaan utama, enggak masalah juga.
Yugo: Yang harus clear adalah jangan sampai side job yang diikuti oleh karyawan secara nature bisnis sama dengan pekerjaan utamanya.
Misalnya, dia bekerja di HR consulting dan dia punya side job di HR consulting. Hal itu dikhawatirkan terjadi tukar-menukar data confidential buat dipakai di perusahaan satunya. Side job, sih, side job tetapi jangan kerja di kompetitor.
Sidik: Banyak juga karyawan yang punya saham dan kontrakan, apakah itu dikatakan side job atau bukan? Batasan-batasan itu harus diperjelas.
Intinya HR dan legal harus upgrade dan update peraturan. Karena dunia sudah digital, mereka perlu memperbarui pekerjaan yang dilarang atau diperbolehkan untuk side job.
Enggak hanya side job, banyak yang harus di-update. Misalnya, jam kerja dan kebijakan WFH dan WFO, sehingga karyawan bisa bekerja menyesuaikan peraturan perusahaan.
Anugrah: Kalau saya balik lagi ke perjanjian kerja. Langsung deal di situ.
Ada beberapa perusahaan yang menjelaskan secara clear bahwa karyawan enggak boleh ada side job. Ketika ketahuan ada side job, langsung ditindak sesuai yang tertera di perjanjian itu. Sesederhana itu kalau dari saya.
Menarik juga penjelasan Mas Sidik. Sekarang banyak yang main saham, apakah bisa dikatakan side job atau tidak? Berarti peraturan perusahaan perlu didetailkan. Biasanya, orang legal suka dengan hal-hal detail. Di sini, peran HR dan legal harus bisa mengikuti zaman.
Misalnya, side job yang tidak diperbolehkan adalah pekerjaan yang dikerjakan saat office hours di perusahaan. Ketika dia ketahuan, ya, udah kelar. Kalau side job-nya adalah ojek online dan dilakukan setelah jam kantor, dan enggak di-state di peraturan perusahaan, ya, enggak masalah.
Sederhananya, yang sudah clear di peraturan, kita lakukan seperti itu, karena landasan HR mengambil keputusan seperti itu.
Leave a Reply