Perusahaan perlu mempertimbangkan employee experience.
Perusahaan—melalui HR—dapat memanfaatkan kondisi pascapandemi untuk memperkuat employee experience, yakni memberikan pengalaman bekerja lebih baik kepada para karyawan.
Dengan demikian, mereka bekerja dengan gembira, membantu mencapai tujuan perusahaan, serta menginspirasi rekan kerjanya untuk berprestasi.
Kami berkesempatan berbincang-bincang dengan Audi Lumbantoruan, pendiri DiagnostiX dan pernah menjabat Country Managing Director EngageRocket Indonesia, tentang pengalaman karyawan melalui telekonferensi pada Senin (22/11/2021).
Indikator Employee Experience Efektif
Untuk ke depan, employee experience fokus ke human experience atau human centric experience. Artinya, kita adalah manusia yang mampu mendengarkan, merasakan, menangis, tertawa, dan semuanya.
Pendekatan terbaru adalah bekerja bukan sekadar convensional work. Bekerja bukan sekadar transaksional, tetapi it’s about human trust. It’s about value creation.
Jadi, employee experience yang efektif adalah employee experience yang membuat karyawan melakukan dua hal.
Pertama, merekomendasikan perusahaan menjadi tempat bekerja lebih baik. Tidak cuma untuk diri sendiri, tetapi bagi orang lain.
Kedua, karyawan merasa bahwa perusahaan bukan hanya tempatnya untuk bekerja, tetapi untuk tumbuh dan berkembang. Itu indikasi simpelnya, yah.
Ke depan, organisasi itu akan semakin critical. Makanya banyak organisasi itu berpindah dari culture driven menjadi purpose driven organization.
Setiap organisasi itu pasti punya talent leader dan masing-masing punya purpose. Jadi kuncinya adalah bagaimana kita membangun employee experience dan purpose bisa berjalan bersama. Pasti ada perbedaan, tetapi pada saat yang sama, we have the same mutual goal.
Langkah HR Memberikan Pengalaman Karyawan Positif

Employee experience sudah mulai menjadi pertimbangan organisasi untuk membangun cara bekerja lebih baik setelah masa transisi pandemi. Namun, it is the whole journey.
Di mana pun HR bekerja, di situ karyawan merasakan bahwa, “Saya bekerja untuk diri sendiri, saya membangun karier, saya membuat legacy di tempat saya bekerja, dan saya menciptakan sesuatu lebih dari yang diharapkan.”
Di sisi lain, pandemi adalah contoh nyata yang membuka mata kita semua dan membuka mata setiap organisasi. Organisasi berhadapan dengan berbagai pertanyaan dan dari hal itu semuanya terungkap, kelihatan, dan transparan.
Apakah organisasi sudah membangun budaya yang sesuai? Apakah semuanya masih relevan? Pada level tertentu, organisasi tahu persis bagaimana karyawan berinteraksi? Bagaimana mereka bekerja?
Organisasi yang akan memberikan employee experience harus mendorong HR untuk:
1) Berinteraksi dengan karyawan
Kalau kita bicara daily activity, kegiatan paling sederhana yang bisa dilakukan oleh HR dari sisi employee experience adalah waktu untuk berinteraksi dengan karyawan.
Sekarang sudah banyak perusahaan yang mendorong karyawan untuk kembali ke kantor. Jadi, HR perlu melungkan waktu untuk berinteraksi dengan karyawan.
Misalnya, makan siang bersama karyawan lain, mendengarkan masukan mereka, atau HR lebih banyak wait-and-see.
2_ Mendengarkan karyawan
Ini yang penting dari employee experience, yakni continuous listening. Ketika HR berinteraksi, ia akan mendengarkan dan memfasilitasi tentang ekspektasi karyawan.
Sayangnya, kita baru bisa mendengarkan curhatan karyawan itu, ekstrimnya, kalau mereka keluar atau di exit interview. Itu momennya sudah ketinggalan. Kita sudah terlambat untuk memfasilitasinya.
Dulu ketika saya di dunia HR, saya seringkali bilang, “Nanti kita akan exit interview, ya, tapi enggak usah mikirin form dulu, deh. Coba cerita apa yang ingin diungkapkan.”
Mengisi form itu penting, tetapi yang lebih penting adalah memahami alasannya ‘why’. Bahkan why-nya sampai lima kali. Tujuannya supaya karyawan bisa bicara apa adanya, sehingga kita memahami kondisi yang terjadi.
Ya, kadang-kadang jawabannya simpel, “Saya sudah enggak connect lagi dengan perusahaan ini.” Baik tentang komunikasi, hubungan dengan atasan, atau cara kerja baru.
3) Memahami kondisi karyawan
Selain itu, kondisi sekarang banyak karyawan yang burnout. Ikut Zoom meeting seperti ganti channel tv, dari pagi sampai malam enggak ada bedanya.
Salah satu klien bilang bahwa mereka bekerja sampai pukul 02.00-03.00. Ketika datang ke kami, stres mereka luar biasa. Padahal Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018, ada Survei Diagnosis Stres Kerja untuk menentukan ambang batas stres karyawan.
Nah, banyak organisasi tidak memahami itu. Bayangkan, kalau kita kembali ke kantor, tetapi hal ini belum beres? Akhirnya, kita masih harus recover dulu hal-hal sebelumnya.
Dalam diri karyawan, ada rekonsiliasi, “Apakah saya akan melanjutkan perjalanan karier ini?” atau “Apakah ini waktu yang tepat untuk pindah ke tempat lain?”
Saat akhir tahun, karyawan mulai grasuk-grusuk melihat website atau job market. Ekspektasinya, setelah performance appraisal selesai, mereka akan pindah ke perusahaan lain di Januari atau Februari.
This is a human being. Jadi, employee experience juga harus down to earth.
Bukan jargon yang tinggi, fancy, bahkan complicated. No. Ini adalah pendekatan perusahaan ke karyawan.
Leave a Reply